Mohon tunggu...
Fahmi Mustofa
Fahmi Mustofa Mohon Tunggu... Freelancer - Pegawai Negeri Santai

Hidup hanya untuk bercanda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bercermin Saja untuk Bertemu Denganku Lagi

14 Juli 2019   03:46 Diperbarui: 14 Juli 2019   03:49 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam di akhir penghujung hari sedang gelap-gelapnya. Lampu rumah pun tak benderang, seperti hatinya yang redup. Tapi tak juga padam. Tak ada bulan untuk menyinari dirimu dan lukamu. Tak ada juga bintang yang menyala-nyala saat hati sedang kosong dan gelap. Tak tahu isi hatimu seperti apa rupa dan wujudnya.

Mungkin itu menjadi hal yang tak penting dengan rupa dan wujud. Namun, isi hati yang perlu untuk di ketahui sedang apakah disana. Perasaan yang sedih ataukah kamu sedang bahagia. Pun, sedang baik-baik sajakah dirimu?

Sudah sepekan akhir ini di awal bulan juli, pada tiap malam air membasahi tanah yang kering dan irama suara diatas genting, menjadi nada yang menderu suasana. Suasana perasaan hati. Sepertinya ini menjadi hal kecocokan apabila rindu dipadukan dengan kondisi yang terjadi.

Tak apa, aku tak mengapa. Aku terima saja keadaan malam ini sampai malam-malam berikutnya. Entah malam ke seratus ataukah ke seribu. Hati ini tetap diam membisu. Seperti ada hal yang ragu. Berharap ragu ini segera melebur tak terus-menerus menjadi beku. Bahkan, kaku.

Bentuk dan caraku untuk mengingat pada sosok pria yang aku kagumi. Bukan tetanggaku yang hebat bernama Ibrahim sosok bapak tua itu yang berumur 48 tahun yang cerdas dalam berilmu bidang matematika. Karena, ia memang pantas mendapatkan predikat cerdas. Karena, profesinya saja adalah guru SMA.

Dalam persoalan dalam diriku. Ternyata, sangat banyak yang menjadi pertanyaan juga dalam keseharianku. Aku tak tahu, sepintas dalam kepala seperti hanya lewat saja mengalir seperti air sungai yang menuju ke laut. Tetap, air sungai dan air memiliki perbedaaan dalam rasa. Air sungai yang tawar dan air laut yang asin. Jenis yang sama dan kandungan kadar yang berbeda.

Dinamika seorang anak menjadi murung adalah keinginan anaknya diperlakukan menjadi anak-anak seperti khalayaknya. Seperti anak tetangga sebelah. Agar tidak iri. Itulah yang membuat anak bisa tersenyum dalam hidupnya dan menjadi semangat. Sepantasnya, siapa lagi kalau bukan orang tua yang membuat bahagia dalam kehidupan anaknya sehari-hari. Seorang anak ingin makan dengan lauk ayam, maka, ibu akan memanjakan kemauan anaknya. Keinginan buah hati adalah sebagai bentuk cinta orang tua.

Usiaku yang sudah dua puluhan, beranjak dewasa. Teman-teman ku yang sedang melanjutkan pendidikannya melewati jalur akademik. Sangat beragam rupanya. Ada yang ingin menjadi sarjana teknik mesin, ada yang ingin menjadi pilot. Ada yang ingin menjadi guru. Ada pula yang ingin menjadi sastrawan.

Sedangkan aku saat ini setelah lulus sekolah, hanya langsung bekerja saja. Menjadi buruh. Mengeyam masa-masa ini ada rasa pahitnya dan manisnya. Pahitnya tak bersama ayahku dan manisnya mencoba menjadi seperti ayah.

"Pah, aku mau ngobrol sedikit saja pagi ini. Boleh?" Sahutku, sesaat gelas berisi teh tawar dan ku teguk.
"iya, bicara saja. Apa yang kamu mau bicarakan pada ayah?" jawab ayah, sambil menegukkan teh miliknya

Pagi hari ini sama seperti pagi dahulu, pagi yang selalu di hiasi dengan hidangan roti tawar dan teh tawar. Semeja minum teh bersama ayah, adalah hal yang selalu ku rindukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun