Penerjemahan Nama Lain Semar
Semar dikenal dengan beberapa nama, antara lain: Janggan Smarasanta, Ki Lurah Badranaya, dan Ki Lurah Nayantaka. Namun yang umum dikenal adalah Badranaya. Biasanya dirangkai menjadi "Semar Badranaya".
Yang menarik, bentuk "naya" pada nama Badranaya ataupun Nayantaka terdapat pula pada kata "argwonoyo" yang dalam tulisan sebelumnya "Nuansa Jawa pada Kata Ungu dalam Bahasa Phoenicia dan Bahasa Kuno Lainnya", telah saya jelaskan sebagai sebutan untuk warna ungu dalam bahasa kuno Aram dan Suryani.
Dalam bahasa Sanskrit, "naya" bermakna: pemandu, pembimbing, memimpin, konduktor, pelindung, sudut pandang, bijaksana, dan masih banyak lagi.
Sementara dalam bahasa Arab, mungkin kita dapat melihatnya sinonim dengan kata "kinayah" yang berarti: bermakna ganda. Sarjana muslim seperti Tabary, Ibnu Mandhur, dan Qurthuby memaknainya: irdaf (sinonim), Dhamir (pronoun atau kata ganti.
Jadi, kata "naya" ini bisa dikatakan selaras dengan makna nama Yama "kembar". Hal ini telah saya ulas dalam tulisan: Ini Asal-Usul Nama "Jawa" Menurut Konsep Lokapala (Penjaga Mata Angin).
Bahkan, juga bisa dikatakan terkait pula dengan Semar, yang dalam salah satu versi kisah pewayangannya, diceritakan bahwa tokoh pewayangan Bagong tercipta dari bayangan Semar, yang berarti dapat dimaknai sebagai kembaran Semar.
Dalam versi yang lain, kembaran Semar adalah Togog. Keduanya diutus kedunia sebagai pembimbing manusia. Semar didaulat sebagai pamong untuk para satria berwatak baik, sementara Togog sebagai pamong untuk para satria berwatak buruk.
Jadi, pada titik ini kita dapat melihat bahwa kesamaan profil sosok Semar dan Dewa Yama, adalah keduanya dicirikan memiliki kembaran.
Aspek warna pun sebenarnya merupakan kesamaan ciri antara keduanya.Â
Dengan mempertimbangkan uraian pada bagian 1, bahwa burung kasuari merupakan "analogi" Semar melalui proxy pohon Cemara (dengan melihat bahwa nama lain pohon Cemara adalah pohon Kasuari), maka, kita dapat mencermati jika warna biru pada kulit leher dan kepala burung Kasuari, sama dengan warna kulit Dewa Yama.
Adapun mengenai mengapa mata Semar senantiasa sembab dan berlinang air mata, dalam pandangan saya, ini merupakan gambaran suasana kebathinan Sem bin Nuh, terkait perjalanan hidupnya.Â
Untuk memahami hal tersebut, saya ingin mengajak pembaca untuk mencermati sisi kehidupan Sem bin Nuh yang terekam dalam mitologi yang berkembang di wilayah Persia.
Kepingan Puzzle Sejarah Hidup Sem bin Nuh
Sebelum saya mulai mengulas mitologi orang Persia yang saya anggap sebagai puzzle sejarah hidup Sem bin Nuh, terlebih dahulu saya ingin mengulas beberapa hal, terutama terkait literatur agama Samawi yang menggambarkan bahwa Sem bin Nuh sebagai salah satu putra Nuh yang beriman. Beberapa sumber bahkan mengidentifikasi Sem sebagai nabi.
Dalam tradisi Syiah misalnya, Imam Ja'far al-Sadiq telah menceritakan kepada rekan-rekannya bahwa Jibrael mengunjungi Nuh ketika mendekati waktu kematiannya, menyampaikan pesan Tuhan:Â
"Oh Nuh! Kenabianmu telah kedaluwarsa dan hari-harimu sudah selesai, (...) jadi warisankanlah pengetahuan kenabian, serahkan kepada putramu, Sam (Sem), karena aku tidak meninggalkan Bumi kecuali bahwa ada yang berpengetahuan di mana kepatuhan kepada-Ku (Tuhan) dapat terjadi... [al-Kulayni, Muhammad ibn Ya'qb (2015). Al-Kafi (Volume 8 ed.]
Dalam tradisi Sunni, Sejarawan Islam awal seperti Ibn Ishaq dan Ibn Hisham selalu memasukkan nama Sem dalam silsilah Muhammad.
Dan berikut ini ulasan mitologi orang Persia yang saya anggap sebagai puzzle dari sejarah hidup Nabi Sem bin Nuh....Â
Dalam mitologi yang berkembang di wilayah Persia, dikenal tokoh mitologi bernama Jamshid, yang dalam bahasa Avestan (teks-teks agama Zoroastrianisme) disebut Yima, dan dianggap sinkronisme Yama dalam kitab Weda.
Dalam mitologi orang-orang Persia, Jamshid digambarkan sebagai raja keempat dan terhebat dari Dinasti Pishdadian. Ini sejalan dengan konsep "the Four Heavenly Kings" lokapala Buddhisme. Yang menempatkan Yama sebagai raja keempat sebagai pelindung arah selatan, dan  merupakan representasi dunia bawah.
Dalam tulisan sebelumnya (Ini Asal-Usul Nama "Jawa" Menurut Konsep Lokapala...) telah saya rinci bahwa konsep empat figur dewa dalam "the Four Heavenly Kings"Â mengindikasikan analogi dari 4 orang nabi di masa kuno.Â
Tersusun dari posisi Timur sebagai posisi awal yang ditempati Dewa Indra sebagai analogi Nabi Adam, posisi Utara ditempati Dewa Kubera sebagai analogi Nabi Seth, posisi Barat ditempati Dewa Varuna sebagai analogi Nabi Idris, dan posisi Selatan ditempati Dewa Yama sebagai analogi Nabi Sem / Sam.Â
Formasi ini selain searah siklus terbit matahari (berlawanan arah jarum jam), juga terlihat tersusun menurut urutan generasi demi generasi di antara mereka.
Nama Jamshid pada awalnya adalah gabungan dari dua bagian, Jam dan shid , sesuai dengan nama Avestan Yima dan Xsaeta , berasal dari proto-Iran  Yamah Xsaitah.Â
Nama Cem dalam Turki Modern dianggap berasal dari bentuk Persia "Jam".
Sumber Naskah Suci Avestan
Dalam bab kedua Vendidad of Avesta, terdapat bagian di mana Ahura Mazda menceritakan kepada Zarathustra kisah Yima.Â
Dikisahkan, bahwa pada awalanya Ahura Mazda menawarkan Yima tugas untuk menerima hukumnya dan membawanya kepada manusia. Ia diminta menghafal (berlatih dan menyatakan) "daena"-nya (konsep Zoroaster yang mewakili wawasan dan wahyu. dimaknai sebagai, pikiran, kata-kata, dan perbuatan Ahura Mazda), dengan kata lain ia diangkat sebagai seorang Nabi. Hal yang kemudian ditolak Yima [Kellens, 1997-98, p. 760]Â
Ahura Mazd kemudian menawarkan kepadanya, sebagai alternatif, peran pelindung, memerintah dan memelihara bumi, untuk memastikan bahwa makhluk hidup makmur. Ahura Mazda menjanjikan bahwa, selama ia berkuasa, dunia akan sempurna, tidak ada panas dan dingin yang berlebihan. tidak ada penyakit atau kematian.Â
Yima menerima misi ini, dan Ahura Mazda memberinya segel emas dan belati bertatahkan emas. Dalam versi yang lain Ahura Mazda memberikan dua item yakni, ternak dan seruling gembala yang terbuat dari tanduk. [Duchesne-Guillemin, 1980; Kellens, 1994-95, hlm. 702; lihat Sims-Williams, 2001]
Di bawah pemerintahan Yima dunia makmur. Menurut Yast 9.10, keadaan ini berlangsung selama 1000 musim dingin, sementara total durasi yang dijelaskan dalam Videvdad adalah 3 x 300 musim dingin.Â
Videvdad mengatakan bahwa, karena makhluk hidup kekal muda dan abadi, setelah 300 musim dingin bumi menjadi terlalu ramai, dan Ahura Mazda mengatakan Yima untuk menggunakan dua alat yang dia terima untuk memperluas bumi hingga sepertiga ukuran aslinya. Yima melakukan perluasan itu sebanyak tiga kali, sehingg setelah tiga kali periode 300 musim dingin, bumi mencapai ukuran dua kali dari ukuran aslinya.
Setelah pembesaran ketiga bumi, di mana ekspansi lebih lanjut mustahil dilakukan lagi, Ahura Mazda mengadakan pertemuan dengan para Yazata di Airyanem Vaejah (yang utama dari "tanah sempurna").Â
Yazata adalah kata dalam bahasa Avestan untuk konsep Zoroaster yang umumnya menandakan sifat keilahian. Istilah ini secara harfiah berarti "layak dihormati". Dalam pengertian yang lebih umum, ini diterapkan pada tanaman penyembuh tertentu, makhluk primordial, dan untuk doa-doa tertentu yang dianggap suci. Secara kolektif yazata adalah "kekuatan yang baik di bawah Ahura Mazda."
Dalam pertemuan itu Yima hadir dengan sekelompok "yang terbaik dari manusia".Â
Pertemuan itu memutuskan bahwa populasi bumi harus dikurangi. Ini harus dicapai oleh musim dingin yang parah, yang sangat keras, diikuti oleh banjir ketika salju mencair.Â
Agar makhluk hidup tidak binasa seluruhnya, Ahura Mazda menjelaskan kepada Yima bagaimana membuat "Vara" yaitu semacam benteng, untuk menjaga sampel semua makhluk hidup selama musim dingin berlangsung.Â
Ahura Mazda menjelaskan arsitektur bangunan dan menjelaskan cara menggunakan tanah liat. Dia juga menjelaskan tentang dua jenis cahaya dalam vara yang terbentuk dari diri mereka sendiri (dimaknai sebagai lampu abadi).
Dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa "vara" itu berbentuk gua multi-level, panjang dua mil (3 km), dan lebar juga dua mil (3 km).Â
Ke dalam vara Ini Yima kemudian membawa pasangan semua makhluk hidup. Tidak termasuk mereka yang cacat tubuh, dan, setiap empat puluh musim dingin, dua anak akan terlahir dari pasangan manusia. Setelah selesai, Yima lalu menyegel Vara dengan cincin emas.
Dalam masa pemerintahannya, Yima memerintah seluruh makhluk di muka bumi, tidak terkecuali bangsa daeva (istilah bahasa Avestan untuk jenis entitas supernatural tertentu dengan karakteristik yang tidak menyenangkan - daemon atau setan dalam terminologi masa sekarang), yang adalah hamba dari Ahriman yang jahat.
Dalam banyak literatur, umumnya para sarjana menyatakan bahwa Yima bertanggung jawab atas banyak sekali penemuan yang membuat hidup lebih aman bagi rakyatnya: pembuatan baju besi dan senjata, tenun dan pewarnaan pakaian dari linen, sutra dan wol, pembangunan rumah dari batu bata, penambangan perhiasan dan logam berharga, pembuatan parfum dan anggur, seni kedokteran, hingga navigasi perairan dunia dalam kapal layar.Â
Yima atau Jamshid dikatakan juga membagi orang-orang menjadi empat kelompok:
- Katouzians : Para imam yang melakukan pemujaan Hormozd
- Neysana: Para pejuang yang melindungi rakyat dengan kekuatan mereka
- Nasoudians: Para petani yang menanam gandum yang memberi makan orang-orang
- Hotokhoshians: Para perajin, yang memproduksi barang-barang untuk kemudahan dan kesenangan rakyat
Sebagai raja terbesar di dunia yang pernah dikenal, Yima diberkahi keberuntungan Ilahi (Avestan : khvarena, khwarenah atau xwarra(h)), sebuah kata dalam Avestan untuk Zoroastrian, yang secara harfiah adalah konsep yang merujuk pada "kemuliaan" atau "kemegahan" tapi dipahami sebagai kekuatan mistis Ilahi. Berkonotasi "kemuliaan kerajaan (ilahi)," yang mencerminkan pemberdayaan ilahi yang didapatkan para raja. Istilah ini juga membawa arti sekunder "keberuntungan" (baik) "; mereka yang memilikinya dapat senantiasa menyelesaikan misi.
Yima disebutkan memiliki Keberuntungan ilahi pada tingkat tertinggi di antara mereka yang terlahir, seperti Zarathustra dan seperti Mitra.
Dikisahkan, bahwa pada suatu hari Yima duduk di atas singgasana bertabur permata , dan para daeva yang melayaninya mengangkat tahtanya ke udara dan ia terbang di langit. Rakyatnya, dan semua bangsa di dunia, kagum dan memujinya.
Jamshid juga dikatakan memiliki cangkir tujuh cincin ajaib "Jam-e Jam" yang diisi dengan ramuan keabadian dan memungkinkannya dapat mengamati alam semesta.Â
Dalam riwayat Persia [tr. Christensen, 1918-34, II, hlm. 60-67], terdapat kisah tentang Jamsid ketika dipanggil ke hadapan Allah sendiri dan diberi kekuasaan sebagai raja atas dunia dengan tanda kebesaran: cincin segel, takhta, dan mahkota. Kembali ke bumi, ia turun Gunung Alborz, dan orang-orang yang melihat ke arah itu dikatakan telah melihat dua matahari, salah satunya adalah Jamsid.
Sejak hari itu, sebagai manusia abadi, Jamsid memproklamirkan dirinya sebagai raja alam semesta tepat pada hari tahun Baru. Mitos ini kemudian dilestarikan dalam tradisi yang mengaitkan Jamshid dengan festival Hari Tahun Baru (Nowruz).
Di kerajaan Kushan, Yima mencapai status ilahi dan muncul sebagai dewa Iamso pada koin [Frantz Grenet, hlm. 253-58], dengan nama "Yam-so" (Sims-Williams, 1997 -98, hlm. 196-97; 2000, p. 194). Frantz Grenet menyarankan - so mungkin merupakan bentuk sampingan dari sao yang artinya "raja". Dalam representasi koin, Iamso memegang seekor burung., yang diidentifikasi dalam Avestan dengan nama Warahna atau Warahran.
Dosa Yima dan hilangnya keberuntungan Ilahi-nya
Dalam mitologinya, kesombongan Jamshid atau Yima dikisahkan tumbuh seiring waktu, ketika ia mulai lupa bahwa semua yang dimilikinya adalah berkat dari Tuhan. Dia membual kepada orang-orangnya bahwa semua hal baik yang mereka miliki berasal darinya sendiri, dan menuntut agar dia harus diberi kehormatan ilahi, seolah-olah dia adalah Pencipta.
Menurut Avesta, keberuntungan ilahi meninggalkannya karena dosa tertentu, dan, menurut sumber-sumber kemudian, ia harus melepaskan tahtanya dan pergi ke pengasingan. Karena tidak lagi abadi, dia dibunuh dengan cara dibelah.Â
Dalam Yasht 19.30-34, digambarkan "keberuntungan ilahi"-nya (hvarena atau khwarenah) meninggalkan Yima dalam bentuk "burung Varahna" ketika dia mengucapkan "kata bohong atau menipu".Â
Menurut Rivayat Pahlavi (Dadestan i denig 38.19-21), dosa Jam adalah menolak tawaran Ahura Mazda terkait "daena" (status kenabian). Kebohongan lainnya adalah bahwa ia telah memproklamirkan dirinya pencipta dunia. Karena dosa ini, ia dikurung di Neraka.Â
Ketika Zarathustra bertanya tentang pendosa terburuk, Ohrmazd (Ahura Masda) memanggil jiwa Yima dan menunjukkannya kepadanya.Â
Namun, Yima telah melakukan beberapa hal baik, sehingga ketika jiwa Yima bertobat dan bersedia menerima "daena" ia diampuni dan diizinkan untuk pergi ke hamestagan (tempat mereka yang perbuatan baik dan jahatnya memiliki bobot yang sama), di mana ia menjadi penguasa [Christensen, 1918-34 , II, hlm. 76].
Dikisahkan bahwa sejak saat ketika "keberuntungan Ilahi" pergi meninggalkan Yima, orang-orang mulai menggerutu dan memberontak terhadapnya. Meskipun Yima telah bertobat di dalam hatinya, kemuliaannya tidak pernah kembali kepadanya. Raja Zahhak , yang di bawah pengaruh Ahriman, berperang melawan Jamshid (Yima), dan ia disambut oleh banyak subyek Jamshid yang tidak puas.Â
Jamshid melarikan diri dari ibukotanya di belahan dunia lain, tetapi dia akhirnya terjebak oleh Zahhak dan dibunuh secara brutal. Sejak saat itu, umat manusia turun dari peradaban yang tinggi kembali ke Zaman Kegelapan.
Tradisi Persia Sah-nama memberi rincian lebih lanjut bahwa, setelah seratus tahun bersembunyi, Jamsid muncul suatu hari di Cin di sebuah pantai. Di sini aak menemukannya dan memotongnya. Menurut Fars-nama dan sebuah puisi tentang Jamsid di antara para Riva Persia, ia terbunuh di Cina, di hutan, tempat ia bersembunyi di dalam pohon.Â
Ketika persembunyian Jamsid diketahui, Setan kemudian memberi tahu Bivarasp (Zahhak), yang kemudian datang dan mulai menggergaji pohon tempat Jamsid bersembunyi.Â
Ketika tubuh Jamsid telah terpotong, matahari menghilang, tetapi ketika mereka kembali keesokan harinya, tubuh Jamsid kembali utuh. Ini terjadi sekali lagi sebelum mereka dapat membunuhnya. Dari sini, kisahnya berlanjut pada bagian di mana Jamsid dikirim ke Neraka, tetapi kemudian jiwanya bertobat, dan dikirim ke hamestagan, di mana ia tinggal selama seribu tahun sebelum diterima di Garodman (Pavlavi= Surga).
Sinkronisme Yima/Yama, Semar, dan Sem bin Nuh
Hal menarik dari mitologi Yima atau Jamsid, adalah adanya entitas "burung" dan "pohon" yang terkait erat dengan momentum "mengharukan" dalam kisah hidup Jamsid.
"burung Varahna" yang digambarkan sebagai bentuk bagaimana keberuntungan ilahi Yima pergi dari dirinya. Yang secara simbolik terekam dalam koin dari kekaisaran kushan, serta, Pohon tempat Jamsid atau Yima bersembunyi.
Adanya kedua entitas ini, menjadikan sinkronisme antara Semar dan Yima atau Yama yang saya ulas dalam bagian 1, menguat dengan sendirinya.
Bahkan, jika dalam mitologinya, Jamsid atau Yima dikisahkan bersembunyi dalam sebuah pohon, maka dalam tulisan bagian 1, secara eksplisit saya ungkap bahwa "Ini seperti menjadikan entitas pohon cemara sebagai chamber of meaning atau "ruang penyimpanan makna tersembunyi" dari sosok Semar."Â
Jadi, bahkan hingga "jati diri" Semar pun disembunyikan dalam "sebuah pohon".
Dari uraian di atas, saya pikir sudah tergambar apa yang menyebabkan mata Semar senantiasa sembab dan berlinang air mata. Yakni, terkait dengan penyesalan luar biasa dirinya, atas siksaan, dan hukuman yang ia terima.
Ini yang di sisi lain, terekam dalam sebutan Cemara dalam bahasa Inggris "pine tree". Di mana menurut www.etymonline.com kata "pine" berasal dari bahasa Inggris Kuno Pinian = "torment, afflict, cause to suffer" (siksaan, penderitaan, menyebabkan penderitaan), dan dari pin (n.) = "pain, torture, punishment" (Sakit, siksaan, hukuman). Dianggap berasal dari bahasa Latin poena = "punishment, penalty" (hukuman, penalti).Â
Secara pribadi, saya melihat, terlepas dari siksaan hukuman yang ia derita, hal yang paling menyedihkan yang layak disimbolisasi dalam gambaran "mata sembab dan linangan air mata" Semar, adalah rasa penyesalan yang sangat mendalam atas kegagalannya, yang berefek sangat luar biasa dalam perjalanan peradaban manusia selanjutnya.Â
Hal yang saya pikir sangat penting untuk dicermati, adalah terkait riwayat yang berkembang dalam tradisi Islam, bahwa Sem adalah salah satu orang yang dibangkitkan  Yesus dari kematian, sebagai salah satu pembuktiannya kepada kaum Bani Israel. [Ibn Kathir: Stories of the Prophets]Â
Masalahnya, tidak ada cerita lebih lanjut, apakah Sem kemudian meninggal dunia atau tidak.
Dengan menimbang bahwa yang dibangkitkan Yesus adalah seorang "mantan manusia abadi", maka, secara pribadi, saya berpikir bahwa bisa jadi momentum itu membuat Sem melanjutkan statusnya sebagai manusia abadi. Kesempatan ini membuatnya dapat menyaksikan sisa-sisa kegagalannya.
Karena itu, saya pikir, kisah metafora yang terekam dalam mitologi Semar, adalah bagian kisah hidup Yama setelah ia dibangkitkan.Â
Sosok Semar yang digambarkan dalam pewayangan sebagai pemandu, pembimbing, dan pelindung para kesatria yang berwatak baik, bisa dikatakan adalah jalan atau kesempatan buat Sem memperbaiki kegagalannya di masa lalu.
Saya dapat membayangkan jika uraian saya dalam seri tulisan ini (Identifikasi Semar sebagai Analogi Sem bin Nuh) dapat dianggap terlampau berlebihan oleh para pembaca sekalian. Mungkin akan dianggap hoax.Â
Tapi, apa pun penilaian yang akan datang dari pembaca, saya pribadi hanya ingin fokus menyampaikan apa yang saya percaya telah diberi kesempatan untuk saya ketahui oleh Sang Pencipta. Pada saatnya, waktu akan memperjelas semuanya... :)
Demikian apa yang wajib saya sampaikan. Semoga bermanfaat. Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI