Pencarian sumber energi baru yang berkelanjutan terus jalan. Indonesia bahkan memasang target yang sangat berani: NZE pada 2060, sesuai komitmen pemerintah melalui Kementerian ESDM.
Untuk sampai ke sana, kita harus pelan-pelan meninggalkan bahan bakar fosil. Salah satu jalurnya ya bahan bakar nabati.
Selama ini, andalan kita masih kelapa sawit yang diolah jadi biodiesel. Program ini terbukti menekan impor solar dan ikut menghemat devisa. Kabar baik, tapi tidak tanpa catatan.
Masalah besarnya menyangkut lingkungan. Permintaan CPO untuk biodiesel terus naik, dan itu bisa mendorong pembukaan lahan baru. Hutan tropis yang kaya sering jadi korban. Deforestasi, singkatnya.
Ada juga dilema lain yang tidak kalah penting: sawit adalah bahan baku utama minyak goreng dan banyak produk pangan. Ketika hasil panen dialihkan untuk energi, pasokan pangan bisa seret. Harga pun berpotensi naik.
Inilah inti perdebatan pangan versus bahan bakar. Kondisi seperti ini memaksa kita mencari sumber BBN lain yang lebih ramah lingkungan dan tidak mengganggu ketahanan pangan nasional.
Di titik ini, mikroalga sering disebut sebagai kandidat harapan. Secara teori, keunggulannya banyak. Produktivitas minyaknya jauh di atas kelapa sawit.
Satu hektare mikroalga bisa menghasilkan puluhan ribu liter per tahun (Forbes, 2020). Sementara sawit sekitar 5.950 liter (GAPKI, 2019).
Waktu panennya pun cepat, hanya butuh beberapa minggu. Bandingkan dengan sawit yang perlu tiga sampai empat tahun untuk panen optimal. Mikroalga tidak menuntut lahan subur atau lahan hutan. Budidayanya bisa di lahan marginal, bahkan di fasilitas tertutup dengan air limbah.
Tapi ada kenyataan pahit yang mengganjal semua potensi itu. Biaya produksi biodiesel mikroalga masih sangat tinggi, bisa tiga sampai lima kali lebih mahal dibanding biodiesel sawit (MDPI, 2021).
Ini bukan sekadar soal investasi awal, tetapi juga kebutuhan operasional yang besar. Lalu ada isu EROI, yaitu perbandingan energi yang dihasilkan dengan energi yang dipakai dalam proses. Beberapa proses mikroalga mencatat EROI rendah, bahkan ada yang di bawah 1 (ScienceDirect, 2014).