Rumah bukan lagi tempat untuk pulang, karena tidak akan ada kenangan lain selain kebodohan untuk hidup di sana.Â
Bagiku, rumah adalah tempat di mana neraka berada, dan lelaki yang dua tahun lalu menikahiku itu tak lain ialah seorang algojo tua yang menggilai banyak wanita.Â
Aku bahkan harus menenggak bir dalam botol sampai hitungan ketiga, hingga mataku lelah menatap langit gelap dan gemerlap lampu-lampu malam berkeliaran.
Keluar dari tempat berkumpulnya manusia-manusia pecinta kebebasan. Tempat yang hanya berisi bau alkohol dan asap rokok, saling menikmati kepalsuan yang mereka sembunyikan di balik gelak tawanya.
Anehnya, aku masih rindu pulang. Menapaki jalan beraspal dengan kaki telanjang, membayangkan ada seseorang setia menungguku dengan seriangai damai yang jauh berbeda. Tanpa amarah, tanpa caci dan maki, tanpa ada tamparan mendarat di wajahku, dan tanpa kutemukan wanita lain di ranjang kami.
Aku ingin pulang, aku ingin menikmati tidur tanpa mimpi buruk dan bayangan masa lalu yang kelam. Aku hanya ingin memulai tanpa mengakhiri sesuatu yang tak kutau seperti apa seharusnya.Â
Dan, aku tak tau mana yang lebih menakutkan, hidup ataukah mati
Kenyataannya, pulang saja masih membuatku tak berani.
***
(Catatan milik istriku)