Tak kupedulikan Yuki yang masih terduduk di sana. Sangat disayangkan padahal Tuhan memberikan anugerah seindah ini pada manusia tapi disia-siakan? Makhluk macam apa dia itu, tidak pandai bersyukur.
“Sekarang aku sadar bahwa Tuhan itu benar-benar ada.”
Tatkala aku melompat, tanpa sengaja gendang telingaku menangkap suara serak Yuki. “Haru! Aku tahu apa yang kau rasakan tapi bisakah kau tinggal lebih lama lagi? Aku ingin mengenalmu lebih dalam!”
Setelah dialog itu usai terucap, keindahan alam yang dipikiranku seketika lenyap. Semuanya berubah menjadi gelap gulita. Kenapa ini? Apakah Tuhan sedang mempermainkanku?
Laki-laki itu benar, aku buta.
Sepanjang malam kesedihan terus-menerus berlarut. Suara berisik kerap kali membangunkanku ketika tengah malam. Aku hanya bisa duduk di pojokan, menutup kedua telinga, memeluk lutut, sambil menangis meraung-raung.
Sekeras apapun aku menangis tidak ada yang memperhatikan. Jangankan memperhatikan peduli pun enggan. Sering aku bertanya-tanya kepada Sang Sutradara, untuk apa manusia diciptakan jika berakhir saling menyakiti? Dan apa gunanya manusia diciptakan jikalau saling menoreh luka satu sama lain?
“Aku ingin istirahat.”
***
Dia satu-satunya perempuan yang mampu menghadapi dunia dengan gagah berani. Pundaknya yang kecil itu bisa menopang beban lebih dari 1000 kilogram. Di tengah-tengah ketidaksempurnaan, ia tak merasa keberatan. Melihatnya tersenyum saja adalah berkah terindah di alam semesta.