"Benar bu. Saya Pak Hapri. Ini...?" Pak Hapri tersenyum ramah sambil mengangguk.
 "Saya Elis. Utusan ke dua wilayah Timur." Jawab perempuan berusia kira-kira 27 tahun itu. Kakinya lalu melangkah dengan ringan ke arah dalam rumah pak Hapri. Justru sebagai tuan rumah Pak Hapri yang nampak kikuk. Ia mundur reflek agar tak bertubrukan dengan wanita itu.
 Ia melepas kacamatanya lalu duduk dengan acuhnya sebelum dipersilahkan. Sejenak Pak Hapri memperhatikan wajah wanita di depannya. Kulit wajahnya putih dengan bentuk agak lancip. Sebetulnya kecantikannya relative, hanya ia memiliki hidung timur tengah dengan alis tebal dan tajam. Sekali melihat, orang bisa segera menebak dari gaya dandanannya kalau ia tipe seorang pesolek dan rajin merawat diri.  Bibirnya tertutup oleh lipstick merah tebal. Alisnya hitam lebat hanya sudah dibentuk di ujungnya. Di bawahnya, ada bulu mata lentik menaungi sepasang mata teduh. Â
 Kalau bertemu pertama kali, pasti dari gayanya yang santai dan akrab sok akrab dan  agak tak sopan, orang akan menuduhnya sombong dan angkuh. Lihat saja tindak-tanduknya,  seolah antara ia dan pak Hapri telah punya hubungan atau pertalian yang akrab sebelumnya. Atau Seperti keluargalah layaknya.Â
 Pak Hapri sendiri seperti tidak keberatan. Itu jelas terlihat dari raut wajahnya. Mungkinkah karena kehadiran sosok wanita yang memesona mata banyak pria termasuk Pak Hapri,  atau Karena apa? Entah.  Kenyataannya Pak Hapri ini memang tinggal sendiri di rumah itu. Ia pria lajang yang sudah berumur kepala 4. Pemalu dan tidak memiliki keberanian untuk mendekati seorang. Jadi wajar saja kalau ia agak tersanjung dikunjungi seorang wanita di rumahnya. Mulanya ia berpikir tamu yang akan datang sebagai utusan ke dua itu adalah seorang pria. Sungguh tak disangka, batinya.