Mohon tunggu...
Franklin Towoliu
Franklin Towoliu Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pemerhati masalah kehidupan

Penulis,fiksi,komik,freejournalist,perupa dan aktifis teater

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ekspedisi Ventira, Negeri yang Hilang (26)

31 Mei 2020   10:19 Diperbarui: 31 Mei 2020   13:04 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 “Ah… Itu, itu mereka bos,”  ujar Pur sambil melihat ke arah dua lelaki lain yang datang dari arah Timur.”

 “Woi!!! Cepat!” Pur berteriak sambil melambaikan tangan.

 Melihat reaksi Pur, kedua pria berbadan sedang itu terlihat sedikit berlari kearah mereka. 

 “Mereka kemana?” Tanya salah seorang diantaranya ketika sudah berada bersama Pak Hapri, Andy dan Pur.

 “Pergi.” Jawab Andy pendek.

 “Kemana?” kejar orang itu.


 “Ya kemana lagi? Ke jembatan lah.” Tukas Pak Hapri.

 “Kita susul sekarang?  Nanti dulu Wan. Kita bakal ketahuan. Biarkan saja mereka sampai dulu di jembatan. Yang  pasti sampai disana mereka tetap akan menunggu karena harus melalui pintu waktu yaitu jam dua belas atau jam tiga dini hari.” 

 “Iya Pak Hapri. Benar juga. Pasti mereka akan menunggu disana sampai malam hari. Sebaiknya kita menyusul kalau sudah gelap pak? Itu lebih aman buat kita. Biar kita tak kelelahan juga menunggu disana,” kata pria satunya yang baru datang itu.

 “Kalau begitu kita masih bisa minum kopi dulu, ya?” kata pria yang dipanggil Wan atau Iwan oleh pak Hapri tadi yang merupakan kependekkan dari nama Irwan.

 “Kalau itu tak sempat lagi. Kita harus segera menyusul sedikit menit lagi agar tak kehilangan mereka walau sudah yakin mereka menuju jembatan. Segala kemungkinan bisa saja terjadi.” Tolak pak Hapri.

 Pria bernama Irwan itu nampak menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil memandang sahabatnya. “Tapi kita belum sempat makan bos Hapri,’ ujarnya sambil mengurut mengelus-elus perutnya.

 “Aduuhh… kacau kalau begini. Kan saya so pesan dari tadi malam. Persiapkan diri dulu. Kalau mau berangkat perang dan kita masih mau cari makan kita bisa terbunuh semua.” Pak Hapri nampak agak melotot kepada Irwan yang justru wajahnya agak memelas. Juga rekannya Febry.

 “Iya bos. Sebaiknya kita makan dulu. Saya juga lapar ini.” Timpal Andy.

 “Hah!? Tadi pagi kan sudah makan banyak!?” Pak Hapri kian membelalak.

"kan ini sudah siang bos." Kali ini justru Pur yang menjawab.

 "Aduuhh! Ok. Ok.  Setengah jam untuk makan siang. Tak ada kopi setelah makan. Kita harus menyusul mereka." ujar Pak Hapri risau.

 "Siap pak," sahut Pur.

Setelah itu mereka berbalik masuk warung makan yang tadi dimasuki Pak Hapri. Kosong. Tak ada pengunjung lain. Jadi mereka langsung menempati meja paling tengah.

 "Makan apa pak?" sambut pelayan warung makan ketika mereka duduk.

 "Nasi campur empat porsi saja. Saya tidak."Pak Hapri langsung mengorder sebelum yang lain, ia khawatir mereka order kebanyakan.

 "Iya pak. Silahkan menunggu," kata gadis pelayan muda berusia belasan itu. Baru saja hendak berbalik, langkahnya terhenti oleh suara Irwan.

 "Jangan lupa kopinya empat di dahulukan ya," kata Irwan.

 "Eh, eh. Nanti dulu. Katanya tadi tak pake minum kopi nanti kita kelamaan." Tukas pak Hapri dengan nada kesal.

 "Ya,,,  kata bos tadi kan habis makan jangan minum kopi? Ini kan sebelum makan bos, sambil menunggu makanan datang, biar hemat waktu." ujar Irwan sambil cengar-cengir.

 "Ahhh! Sudah! Sudah! Kalau begitu. Cepat." Pak Hapri nampak dongkol.

 "Oke, tambah kopi empat gelas ya? Silahkan ditunggu." Berkata begitu, Pelayan cewek ini memberi secuil senyum manis lalu berlalu dari hadapan mereka.

 "Bagaimana? Samurai dan LM ada kamu bawa, Wan?" Tanya pak Hapri dengan suara rendah.

 "Iya lah bos. Di pegang Febri." 

 "Berapa banyak?" kejar pak Hapri.

 "Kalau samurai jelas satu bos. Kalau LM ada tiga lempengan." Sahut Febri, sambil menurunkan tas punggungnya kemudian meraih sebuah kantong kain berikat berwarna merah maron. Dengan hati-hati dibukanya tali pengikat kantong itu. Benda berwarna kuning emas nampak dalam kantong kain itu.

 "Samurainya jangan dibuka disini, nanti dilihat orang." Cegah Irwan sewaktu Febri bersiap mengambil sebuah kotak kulit warna hitam dari dalam tas. Febri pun kembali memasukkan kantong kain merah maron dan menyimpannya kembali dalam tas.

 "Hati-hati. Kata bunda, ini sudah diupacarakan oleh Aba. Kalau kitas salah adat dalam membawanya, nyawa kitalah yang jadi taruhan." Kata Irwan lagi. Wajahnya nampak berkeringat dan ketakutan.

 "Taka apa-apa. Jangan terlalu takut. Kamu kan salah satu pewaris sah sebagai penjaga hak jaga pusaka amanah ini. Ngomong-ngomong, apa kalian memberitahu rencana kita ini ke salah satu teman broker kalian?" Tanya pak Hapri, tetap masih dengan suara pelan seperti halnya Irwan dan Febri kalau bebicara.

 "Kalau itu saya pastikan tak ada bos Hapri. Saya tahu kita saat ini tidak sekedar memburu barang saja. Saya mengerti itu. Hanya kalau menyangkut hak jaga yang bos Hapri bilang tadi, itu memang benar.  Tapi menurut bunda, kita harus tetap di mandikan sebelum masuk negeri Ventira, bos Hapri. Bunda sendiri yang akan memandikkan kita semua termasuk bos Hapri."

 "Apa!?" mendadak suara keras Pak Hapri terlontar karena ia begitu terkejut. Lalu setelah melihat dan menoleh keadaan kesana-kemari, ia akhirnya bisa mengusasai diri lagi. 

"Itu berarti kita masih akan menunggu bunda lagi?" tanyanya dengan kening terangkat dan suara ditekan rendah.

 "Iya, bos Hapri. Kalau tak melalui ritual itu saya tak berani berangkat."

 "Aduhhh Wan. Itu berarti kita kehilangan mereka. Bukankah bunda masih ada di Gorontalo?" kata Pak Hapri dengan wajah risau.

 "Benar sekali bos Hapri. Sejam lalu saya menerima pesan dari Bunda lewat sopir bus Manado-Palu. Orangnya bunda juga. Namanya pak Anto. Katanya bunda yang akan datang memandikan kita sore ini dekat jembatan Ventira. Dan memurutnya, kata Bunda siang ini akan bertemu kita. Ia juga tak menyuruh menunggu dimana. Hanya memesan kepada Pak Anto seperti itu dan akan membekali kita dengan syarat." Jelas Irwan panjang lebar.

 "Tapi waktu itu si pak anto itu bilang juga kalau bunda masih ada di Gorontalo, kan?" Tanya pak Hapri masih dengan wajah gusar meski ia percaya bukan hal yang mustahil bagi seorang bunda  yang dikenal memiliki kesaktian tinggi untuk tiba-tiba saja ada di Palu atau Jakarta meski setangah jam lalu dia masih ada di Gorontalo.

 "Jadi bagaimana ini sekarang?" kata Pak Hapri lagi.

 "Ya, kita tenang saja dulu pak. Saya percaya Bunda pasti muncul pada saat yang tepat," balas Irwan.

 "Kira-kira bagaimana caranya ya, Bunda ke sini?" tanpa sadar pertanyaan kecil itu terlontar dari mulut Pak Hapri. Sambil bergeser duduk karena pelayan tadi sudah muncul lagi dan mulai meletakkan gelas-gelas kopi di atas meja.

 "Sssh! Jangan bertanya seperti itu pak. Nanti kedengaran sama bunda." Tegur Febri dengan hati-hati. Agar Pak Hapri tak tersinggung ia memolesinya dengan sedikit tawa.

 "Okelah kalau begitu. Ayo diminum kopinya sudah ada," pak Hapri lagi.

 "Sementara tak ada percakapan lagi. Sambil menunggu makanan datang, pikiran mereka masing-masing mengembara. Isinya macam-macam. Dari memikirkan anak istri hingga bayangan ketakutan jika nanti mereka bisa masuk ke Ventira memboncengi keberangkatan tim Daniel, Raiva dan Rainy.

 Pelayan warung makan kembali muncul membawa baki berisi piring makan. Kali ini seorang ibu menemaninya, juga membawa baki berisi makanan. Dengan cekatan tapi sopan, mereka meletakkan semua makanan ke atas meja. Uap panas nasi mengepul, memancing rasa lapar Pur, Irwan, Febri dan Andi kian memuncak. 

 Dengan lahap mereka mulai menyatap makanan yang ada. Pak Hapri nampak bersiul kecil mengikuti hantakkan irama bas dari music yang diputar di warung makan sebelah. Sepertinya itu tindakkan mengusir rasa jenuhnya saja.

 Di tengah-tengah acara makan itu, mendadak Irwan tercenung sambil menatap kosong pada gelas kopinya. Wajah menunjukkan bahwa ia tengah berkonsentrasi pada sesuatu hal. "Tolong diam dulu..." katanya.

 Yang lainpun segera berhenti menyantap.

 "Ada apa, Wan?" Tanya Febri.

 "Sepertinya bunda sudah ada. Aku bisa merasakannya."

 Semua ikut tercenung. Mereka saling memandang.

 "Maksudnya di mana, Wan?" Tanya pak Hapri.

 "Saya merasakan ia sudah dekat." Sahut Irwan.

 "Mungkin dalam perjalanan ke sini?" Komen Andy.

 "Entah... sebaiknya kita tenang dan menunggu," jawab Irwan lagi sambil memperhatikan Pak Hapri yang tiba-tiba air mukanya berubah agak pucat dan berkeringat. Pandangan mata Pak Hapri terlihat terpaku, mengarah lurus kepada seorang wanita yang tiba-tiba saja sudah ada dan duduk di meja paling sudut, di arah belakang Irwan dan Febri. Semua matapun ikut melihat ke arah wanita itu. Tangan mereka tak bergerak dengan mulut nyaris ternganga. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun