Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tari Caci: Warisan Manggarai yang Mengajarkan Kita Arti Luka, Harga Diri, dan Pelukan

4 Juli 2025   08:16 Diperbarui: 8 Juli 2025   14:17 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tari caci: simbol heroisme dari Manggarai (Tirto)

Berikut lima alasan sederhana mengapa Caci tetap hidup:

1. Ritual Kolektif

Ia bukan sekadar tontonan panggung. Ia adalah bagian dari identitas komunitas iringan yang merangkul mereka yang tumbuh bersama.

2. Pewarisan Antargenerasi

Anak-anak diajak menonton sejak kecil. Bahkan lebih dari itu, mereka sudah mulai dilibatkan dalam bentuk-bentuk permainan dan simulasi Caci sejak duduk di bangku sekolah dasar. Beberapa sekolah di Manggarai bahkan menjadikannya sebagai bagian dari kegiatan ekstrakurikuler budaya. Mereka bukan hanya belajar bagaimana mencambuk, tapi juga bagaimana menahan, menghormati, dan menerima luka.

3. Fungsi Sosial Analog

Di masyarakat Manggarai, konflik dikelola, bukan dipendam. Caci adalah wadah simbolis untuk menyalurkan kemarahan, menguji batas, lalu meredakannya dengan pelukan.

4. Komitmen Komunitas

Masyarakat kampung turut serta mengorganisasi dari menenun pagar pelindung hingga menyiapkan gong dan makanan bersama.

5. Pariwisata Budaya

Melalui semangat Festival Kebudayaan Indonesia, budaya seperti Caci tidak hanya dilestarikan tetapi juga diberi ruang tampil yang layak dan bermakna. Ketika ruang itu terbuka, makna budaya tidak memudar tetapi justru menyala.

Luka dan Cinta yang Tersamar

Saya menyaksikan langsung pelukan terakhir antara dua penari Caci, dan saya merasa dikenai sesuatu yang sulit dijelaskan. Ada semacam gema dari dalam diri saya. Saya melihat bahwa saya belum pernah benar-benar membiarkan luka saya "dipeluk". Saya mengekangnya. Saya membungkamnya.

Caci memberi pelajaran itu. Bahwa menerima rasa sakit bukan berarti menyerah. Tidak melawan tidak sama dengan tunduk. Justru kadang, harga diri muncul dalam keheningan setelah benturan.

Yang dipukul bukan tubuhmu. Yang dijaga adalah harga dirimu.

Pelajaran untuk Kita Semua

Dari dua lelaki di Manggarai - Flores - NTT, saya mencoba menangkap pelajaran sederhana:

  • Luka punya hak untuk terlihat.
    Tidak semua harus disembunyikan. Kadang ia perlu ditunjukkan, dirasakan, lalu diterima dengan damai.
  • Harga diri bukan hanya perisai.
    Kadang ia adalah keberanian untuk bertarung dan keberanian untuk meminta pelukan.
  • Pelukan setelah luka lebih kuat.
    Sentuhan ketulusan memperkuat empati dan mengakhiri konflik dengan damai.
  • Ruang konflik itu penting.
    Bagi komunitas, dan bagi diri kita. Konflik yang tidak diproses bisa mendalam dan membusuk.
  • Budaya menyimpan kekuatan penyembuhan.
    Saat kita mulai mengolah simbol, ritual, dan makna, kita juga sedang mengolah diri.

Fragmen Apa yang Masih Menghantui?

Saya masih menyimpan pertanyaan itu. Masih ragu apakah saya punya keberanian Caci: mencambuk luka batin lalu memeluknya. Saya takut terluka lagi. Saya takut pelukan tak pernah cukup.

Tapi saya belajar: keberanian dimulai dari mengakui bahwa luka ada seperti dua penari di atas panggung tadi.

"Aku terluka."
"Aku menahan."
"Aku siap memeluk."

Penutup 

Saya tidak akan melupakan ritual caci di Manggarai. Dengungan gong, langit yang terbelah cahaya, cambuk yang menyambar, dan pelukan yang menyudahi semuanya.

Itu bukan sandiwara. Itu adalah pernyataan: kita mampu melukai, tapi kita juga mampu merangkul.

Dan ketika saya pulang dari sana, saya menyadari bahwa setiap luka punya kawan yang menunggu untuk memeluknya. Dan setiap harga diri layak dijaga, tetapi bukan untuk dibenturkan.

Lewat pengalaman langsung menonton Caci, saya belajar bahwa di balik setiap ekspresi budaya ada lumbung nilai yang bisa kita panen, asalkan kita benar-benar hadir.

Jadi mungkin, untuk hari ini, cukup jika kita berani membuka diri pada pelukan meski dalam bentuk yang paling sederhana: pengakuan.

Caci bukan sekadar tarian. Ia cara Manggarai menyampaikan: kami tahu rasanya sakit, tapi kami juga tahu bagaimana caranya saling memeluk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun