Kita bisa mulai dari hal-hal sederhana:
Saat murid bilang, "Saya sedih," kita tidak buru-buru bilang, "Jangan sedih."
Saat mereka kecewa, kita tidak langsung memotong dengan, "Masih banyak yang lebih susah dari kamu."
Saat mereka takut, kita tidak memaksa mereka terlihat berani.
Cukup dengan, "Aku dengar kamu. Aku paham itu berat."
Empati tidak selalu harus datang dalam bentuk solusi. Kadang cukup menjadi tempat sandaran.
Kita Tidak Harus Selalu Positif, Tapi Harus Selalu Manusiawi
Ada kalanya kelas harus sunyi sejenak. Bukan karena tak ada pelajaran, tapi karena ada sesuatu yang sedang diproses dalam diam — luka, kebingungan, atau rasa yang belum menemukan kata.
Sebagai guru, orang tua, atau teman sekelas, kita sering lupa bahwa menjadi pendengar itu jauh lebih sulit daripada memberi nasihat. Tapi justru di situlah letak kekuatan sesungguhnya: keberanian untuk hadir tanpa harus cepat-cepat menyelesaikan.
Toxic positivity bukan sekadar kata-kata manis yang dipaksakan. Ia adalah cermin dari ketidaksabaran kita menghadapi emosi yang bergejolak pada orang lain. Dan lebih dari itu, mungkin ia mencerminkan ketakutan kita sendiri akan perasaan yang tidak nyaman, yang ingin kita hindari.
Penutup: Ada Sunyi yang Harus Didengar
Aku sering berpikir, betapa rumitnya manusia modern ini. Kita punya kata-kata untuk segala hal, tapi tidak selalu tahu kapan harus diam. Kita punya motivasi melimpah, tapi jarang sekali diiringi dengan kepekaan yang tulus.
Kelas bukan panggung motivator. Kelas adalah ruang hidup—tempat manusia bertumbuh, lengkap dengan luka, tawa, dan keheningan yang silih berganti.