Kata-kata itu bisa terasa seperti obat, tapi sekaligus seperti penyangkalan. Padahal, rasa kecewa itu valid. Dia berhak untuk merasa hancur sejenak. Dia perlu ruang untuk mengolah perasaannya, bukan langsung dipaksa melangkah seperti tak terjadi apa-apa. Dia perlu dipeluk, didengarkan, bukan diabaikan.
Berbagai penelitian psikologis menunjukkan bahwa menekan emosi negatif tanpa melalui proses yang sehat justru berpotensi memperparah stres, kecemasan, dan bahkan menyebabkan burnout. Dalam konteks kelas, efeknya bisa sangat nyata: murid yang sebelumnya penuh semangat tiba-tiba menjadi murung, enggan berbicara atau berpartisipasi. Mereka mungkin terlihat “patuh” dan mengikuti aturan, tapi sebenarnya kehilangan gairah dan motivasi yang selama ini jadi bahan bakar belajarnya.
Tidak semua luka butuh segera disembuhkan dengan senyuman. Kadang, yang dibutuhkan hanyalah ruang untuk merasa—bukan paksaan untuk terlihat baik-baik saja.
Toxic positivity, dengan segala niat baiknya, kadang justru menjadi tembok penghalang antara siswa dan dukungan yang sebenarnya mereka butuhkan. Ia mengaburkan kenyataan bahwa rasa sakit adalah bagian dari proses belajar dan tumbuh—dan tanpa ruang untuk menerima itu, proses itu justru terhambat.
Saat Guru Menjadi Polisi Emosi
Aku pernah—dan mungkin tanpa sadar masih kadang—menjadi guru yang terlalu ingin kelas selalu terlihat “tenang dan tertib.” Aku terburu-buru berkata, “Sudah ya, jangan terlalu larut dalam emosi. Fokus saja ke pelajaran.” Kalimat itu keluar dari mulutku dengan niat baik, tapi kini aku sadar, itu adalah bentuk penyangkalan terhadap sesuatu yang sesungguhnya sangat penting.
Karena sesungguhnya, belajar bukan cuma soal menyerap informasi atau menyelesaikan tugas. Belajar adalah membuka ruang—ruang untuk bingung, ruang untuk gagal, ruang untuk merasa tidak baik-baik saja. Tanpa ruang itu, proses belajar menjadi kering dan terkungkung.
Aku teringat sebuah tugas reflektif yang ditulis oleh seorang siswa, yang kalimatnya terus menghantui:
Saya suka belajar, tapi kadang saya sedih, dan saya takut dianggap lemah. Jadi saya diam.
Diamnya bukan karena tenang atau ikhlas. Tapi karena terbungkam. Terhalang oleh ketakutan akan stigma, takut dianggap lemah, takut dibilang tidak mampu. Diam yang menyakitkan, yang sering tak terlihat oleh kita sebagai guru, tapi berakar dalam jiwa mereka.
Dan di sanalah aku mulai menyadari: kelas bukan hanya soal disiplin dan ketertiban, tapi juga soal keberanian membuka ruang untuk emosi—bahkan emosi yang tak nyaman sekalipun. Karena dari ruang itu, belajar yang sejati baru bisa tumbuh.
Kelas yang Ramai oleh Emosi
Yang gaduh di kelas bukan hanya suara ribut atau tawa keras. Kadang, yang paling gaduh justru yang tak terdengar: pikiran-pikiran yang berdesakan di kepala, emosi yang disapu rapat ke bawah karpet, dan tekanan untuk selalu tampak kuat—seolah tak boleh lelah atau rapuh.
Lalu, saat kita hanya bilang, “Ayo semangat!” tanpa pernah bertanya, “Bagaimana kabarmu sebenarnya?” kita menutup pintu yang mungkin baru saja ingin diketuk dengan ragu.
Anak-anak tidak hanya belajar dari papan tulis dan buku pelajaran. Mereka belajar dari cara kita mendengarkan dengan sungguh-sungguh, dari sikap kita saat mereka goyah dan butuh pegangan, dari bahasa tubuh kita yang mengiyakan saat mereka berkata, “Saya capek.”
"Anak-anak tak selalu butuh nasihat. Kadang, mereka hanya butuh didengarkan tanpa dihakimi—agar lelahnya terasa manusawi, bukan kesalahan.
Mendengarkan itu bukan sekadar mendengar suara. Mendengarkan itu membuka ruang—ruang untuk mereka menjadi manusia, bukan hanya “murid yang harus kuat.”