3. Perusahaan dengan emisi tinggi mungkin memilih untuk memindahkan operasinya ke negara yang tidak menerapkan pajak karbon (carbon leakage). Hal ini dapat menyebabkan hilangnya lapangan kerja dan melemahkan daya saing industri dalam negeri.
4. Jika pajak karbon diterapkan tanpa adanya alternatif energi bersih yang memadai, industri dan masyarakat tetap terpaksa menggunakan bahan bakar fosil dengan biaya lebih tinggi. Hal ini dapat menghambat transisi energi yang diharapkan.
5. Jika pendapatan pajak karbon tidak dikelola dengan transparan dan tidak benar-benar dialokasikan untuk inisiatif energi bersih, kebijakan ini bisa kehilangan efektivitasnya. Penyalahgunaan dana atau birokrasi yang rumit dapat menghambat manfaat jangka panjang dari pajak karbon.
Pajak karbon merupakan salah satu solusi efektif untuk mengatasi meningkatnya emisi CO₂ di Indonesia, terutama dengan melihat bagaimana negara-negara lain yang lebih dahulu menerapkannya telah berhasil menekan emisi dan mendorong transisi energi bersih. Namun, jika kebijakan ini tidak dirancang dan diterapkan secara matang—misalnya tanpa mempertimbangkan kesiapan industri, dampak terhadap harga barang dan jasa, serta mekanisme kompensasi bagi kelompok rentan—maka kebijakan ini justru dapat menjadi bumerang bagi perekonomian Indonesia. Alih-alih mendorong keberlanjutan, pajak karbon yang tidak dirancang dengan baik dapat meningkatkan beban produksi, menurunkan daya beli masyarakat, dan bahkan memicu relokasi industri ke negara lain yang belum menerapkan regulasi serupa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI