Musim semi menyambut saya di pintu masuk wilayah selatan Italia, dengan cahaya yang lembut dan udara yang belum sepenuhnya hangat.
Saat melangkah masuk ke dalam Istana Caserta, sebuah mahakarya arsitektur di wilayah Campania, saya merasa seperti memasuki halaman terakhir dari sebuah roman megah yang ditulis oleh waktu.
Kubah-kubahnya menjulang, langit-langitnya dilukis dengan tangan yang percaya bahwa keabadian bisa ditanam di antara warna-warna.
Ada tempat-tempat yang dibangun bukan dari cinta, tapi dari rasa takut yang disamarkan menjadi arsitektur. Dan Caserta, dalam diamnya yang sempurna, seolah berkata "aku dibangun agar dunia tahu aku pernah ada".
Raja Charles VII dari Napoli, yang kelak naik tahta menjadi Raja Spanyol, membangun istana ini bukan semata karena cinta pada seni, tapi juga karena hasrat pada keabadian.
Ketika ia memercayakan proyek ini kepada Luigi Vanvitelli, sang arsitek tak hanya menggambar bangunan, tapi juga mewujudkan kegelisahan sang raja dalam bentuk dan struktur.
Vanvitelli bahkan pernah berkata bahwa “il mio intento era di creare un palazzo che potesse superare ogni altro in magnificenza e funzionalità” (niat saya adalah menciptakan istana yang dapat melampaui semua istana lain dalam kemegahan dan fungsionalitas). Tapi dalam kalimat itu, saya tak hanya mendengar ambisi, namun saya juga mendengar kegelisahan. Bagaimana jika semua ini tak cukup untuk dikenang?
Dan seperti banyak mahakarya dalam sejarah, Caserta menjadi surat yang tak sempat dibaca oleh pengirimnya. Sang raja pergi ke Spanyol untuk menyongsong tahta yang merupakan hak lahirnya, dan istana ini berdiri seperti puisi cinta yang ditulis dengan tinta kebesaran, namun berakhir ditinggalkan tanpa tanda tangan.
Saya berjalan perlahan di antara ruang-ruang sepi yang tak pernah benar-benar kosong. Patung-patung berdiri seperti penjaga waktu, dan langit-langitnya, yang dihiasi lukisan para dewa, membuat saya merasa seperti berada di panggung teater surgawi.
Tetapi di balik semua itu, saya tak menemukan kebahagiaan. Yang saya temukan adalah upaya manusia untuk menenangkan ketakutan melalui keindahan.
Barangkali itulah maksud Vanvitelli saat ia berkata bahwa “l’architettura è l’arte di armonizzare la bellezza con l’utilità” (arsitektur adalah seni menyatukan keindahan dengan kegunaan). Tapi apa guna keindahan, jika ia hanya menjadi tempat untuk menyimpan kecemasan?