Mohon tunggu...
Eryani Kusuma Ningrum
Eryani Kusuma Ningrum Mohon Tunggu... Guru - Miss eR

Pengajar Sekolah Dasar... Suka jalan-jalan (travelling)... Suka berkhayal lalu ditulis... Suka menjepret apalagi dijepret... kejorabenderang.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[FR] Sesederhana Hilal Menampakkan Diri

16 Juli 2015   01:59 Diperbarui: 16 Juli 2015   01:59 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ah... aku bosan lama-lama disini” pikirku setelah selesai menulis status di display BBM.

Ya! Ramadhan akan berakhir esok dan hilal syawal akan segera menampakkan dirinya namun aku disini terpengkur memegang ponsel tercanggih abad ini sambil menikmati... ya menikmati alam desa ini.


Sudah tiga hari aku di kampung Ayah.
Jauh dari mana-mana, bahkan dua minimarket yang biasanya hidup berdampingan namun sebenarnya bersaing itu pun tak nampak di batang hidung. Hanya warung kecil yang orang sini bilang sebagai warung serba ada.
“Apanya yang serba ada? Bahkan sabun dan shampo yang biasa aku pakai tak ada dijualnya”
Aku menghembuskan nafas kencang sambil terheran, “Masih ada ya kampung yang sepi, jauh darimana-mana seperti hidup di zaman primitif bahkan jika malam datang suasana mencekam akan merasuk jiwa seperti berada di sarang penyamun. Suasana gelap mendera dan hanya suara nyanyian jangkring, kodok bahkan lolongan anjing pun terdengar bersahut-sahutan.

“Setelah lebaran esok Rina duluan pulang ke Jakarta ya Ma...” pintaku kepada Mama yang sibuk membuat ketupat.
“Loh kan kamu izin cuti sampai 12 hari, kok buru-buru banget?” tanya Mama keheranan.
“Iya Ma, rupanya ada pekerjaan yang harus Rina selesaikan” Jawabku tanpa ingin membuat kecewa orang tuaku dikarenakan alasan klasik, “Tidak kerasaaan”
Aku merasa jika aku disini terus aku akan gila...
Tak ada saluran televisi favoritku karena rumah nenek yang hanya terpasang antena biasa...
Tak ada saluran radio yang mengasyikan, hanya ada keroncong atau suara gamelan Jawa...
Bahkan jika di dalam rumah, sinyal ponselku pun timbul tenggelam..
“Arrrggg... Rina jalan-jalan dulu Ma” Ujarku emosi karena bosan yang membuat Mama heran melihatku.

Kususuri jalan setapak dengan rimbunan pohon jati. Sebenarnya jika aku hirup udaranya, rasa khas dedaunan nan sejuk dan bersih akan segera mengisi ruang paru-paruku, segar rasanya.
Ditambah dengan alunan gemericik air sungai di sebelah selatan jalan ini, ya ampun damainya.
Aku tertegun sejenak saat melihat kumpulan anak-anak kecil bermain. Aku bertanya-tanya sedang bermain apakah mereka?

“Itu namanya Lodong mbak” Ujar salah satu anak yang menghampiriku sambil asyik melihat mereka
Ya Lodong, semacam meriam dari bambu yang di isi karbit dan di campur air lalu di sulut api hingga “duuaaarr” bunyi ledakan akan terdengar.
Sebenarnya permainan ini tak berbahaya dibanding petasan dan aku lihat sungguh anak-anak itu menikmatinya. Bersenda gurau, bercanda, saling membantu bahkan tertawa tanpa ada beban yang menghiasi wajah mereka. Tidak seperti anak-anak sekarang yang mungkin jiwa mereka lebih tua 10 tahun dari umurnya. Mereka masih asli dan tak terpolusi oleh hal-hal yang bersifat kekinian.

Terlihat pula diseberang sana, anak-anak lainnya sedang main lompat-lompatan. Oh mereka pun sedang bermain dengan bambu lainnya. Yaitu dengan 4 bilah bambu yang disusun silang lalu dengan nyanyian si pemain akan melompat ke dalam belah bambu yang terbuka.

“Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar” sayup-sayup suara adzan maghrib lalu disertai takbir berkumandang yang menandakan bulan rahmat Ramadhan telah berakhir.

Sebelum langkah kakiku bergerak pulang, ada tangan kecil yang memegangku sambil mengajak, “Mbak ikut saya ke rumah yuk! Tadi Ibu saya berpesan untuk mengajak Mbak Rina mampir” pinta seorang anak perempuan yang ku ketahui bernama Ika.
Aku pun menggangguk terheran.
Sesaat nampak sebuah rumah berdinding kayu beralaskan anyaman bambu beratap genteng sekedarnya.
Hingga akhirnya kakiku mendarat ke dalam rumah sambil dihadapkan dengan dua bungkus orek tempe yang katanya sudah dipesan Mamaku.
“Semoga Mbak Rina suka oreknya dan kerasan disini ya Mbak” pesan Ibu Ika dengan guratan wajah ramah menua, yang mengesankan seorang perempuan pekerja keras.


Kususuri jalan setapak untuk kembali ke rumah namun kali ini ditemani oleh Ika. Ika bercerita banyak tentang sekolahnya dan berupaya menceritakan Jakarta dengan imajinasinya. Aku tertegun bangga kepadanya, Ika gadis kecil yang cerdas, pintar dan ramah walau jauh dari hal-hal yang kekinian justru ia mahir menguraikan semua itu dengan imajinasinya.
“Pesan Ibu Guru untuk kami adalah tetap menjadi diri sendiri, menyayangi teman, menghormati orang tua dan menjaga lingkungan” ujarnya dengan berbinar-binar.
Ku lihat Hilal muncul dengan malu-malu di angkasa dengan butiran bintang-bintang gemerlap. Sederhana sekali..
Sesederhana pikiran warga kampung ini dalam bermasyarakat.


“Fa-biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdzi ban”
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun