Lalu satu-satu naik ke pentas. Selip sana selip sini mata uang rupiah. Malah satu dua kata rayuan mengaum dari mulut bau bir mereka. Srindis tak terpengaruh. Ia fungsikan kepiawaiannya di arena ini. Para petinggi partai bersorak senang. Malam itu jadi kenangan. Srindis sudahi selama kurang lebih dua jam setengah.
Srindis lelah setelah menghitung rupiah yang ia comot dari balik kutangnya.
***
Di hotel malam itu ia didatangi tamu. Mbak Yu yang membawanya. Ia dikenalkan, lalu ditinggal oleh mbak Yu. Sendiri ditemani lelaki itu. Â Srindis masih gadis. Perawan tulen. Â Asal lembah-lembah yang diapit dua bukit. Ia utarakan itu pada lelaki dihadapannya. Sebagai kesantunan penari ronggeng. Sekaligus mengamati ciri khas lelaki tua bangka ini.
Lelaki itu membalas menyebut nama Rewan.
Katanya," Dua bukit itu tempat yang indah dan nyaman. Saya pun pernah tinggal, dan besar di desa itu. Bukit itu bisa dinikmati di kala senggang. Dicicipi di kala haus. Diremak  saat gemas."
"Maksudnya,"tanya Srindis.
"Ayolah. Ongkosmu sudah aku panjer lewat mbak Yu. Sekarang aku ngilu. Sisanya malam ini hingga pagi. Lunas."
"Bangsat!"
Srindis terhina. Rewan target yang dicarinya selama ini. Tanda codet di bagian pipi kanan dari salah satu petinggi partai tanpa warna ini ia kenali dari kisah mbah Sito. Berpuluh tahun ia simpan dalam ingatan. Malam ini kesempatan baiknya terbuka. Lelaki ini yang dulu menghancurkan hidup keluarganya. Rewan alias Gerpol.
Karena itu ia tak sabar lagi. Ungkapan marahnya itu juga tidak main-main. Dalam hitungan detik kemudian tikaman pisau berulangkali mendarat di jantung lelaki itu. Roboh bermandikan darah, kemudian mati tanpa do'a-do'a.Â
Srindis tersenyum puas. Ia menghilang malam itu juga di penghujung tahun 2100.