"Sampurasun,"begitu kiai berucap salam, entah pada siapa. Hanya mata bathinnya langsung menyaksikan kehadiran suatu makhluk yang sangat besar, yang digambarkan oleh kiai usai tugasnya itu pada pamong desa Balandongan dan anak cucunya belakangan hari, sebagai makhluk yang baru dilihatnya setelah sekian puluh tahun mendalami ilmu semacam ini.
Kiai berhadapan dengannya dalam jarak tiga meter dari pohon Kemuning itu. Kiai seolah ada di antara selangkangan makhluk itu, masih longgar pula adanya, diam, takzim, dan menunggu jawaban salamnya. Mahkluk itu berbulu di sekujur tubuhnya, melambai-lambai dihembus angin. Matanya merah menyala. Kuku-kuku yang ada dijemarinya tampak runcing mengkilat disinari terang rembulan. Tinggi badannya boleh jadi 10 meter, sama persis dengan tiang listrik. Kekar, kokoh, dan padat tubuhnya. Jika nyata adanya, barangkali kiai bakal lari terbirit-birit. Tapi ini mata bathin, sulit untuk dibayangkan orang semacam kita ini, bakal betah berlama-lama dengannya andai melihat dengan mata biasa.
Kira-kira mereka bercakap seperti ini.
Setelah saling menatap, dan diam, kemungkinan saling mengira-ngira batas kemampuan masing-masing untuk bertarung, mahkluk itu pun membuka dialog.
"ANDA SIAPA?
"Saya Kiai Cipancur."
"ADA URUSAN APA?
"Saya diminta tolong Kuwu Naya untuk menebang pohon Kemuning ini hingga tuntas."
"ASAL TAHU SAJA, SEBELUMNYA BEBERAPA ORANG Â TELAH DATANG. TAPI MEREKA SEMUA NGACIR. PADAHAL SAMPAI JUGA BELUM KE TEMPAT INI. TAPI ANDA BEGITU YAKIN. APA UPAH YANG ANDA TERIMA?
"Hanya uang 5 rupiah. Tidak lebih, dan tidak kurang, Baru dibayar 3 rupiah, sisanya 2 rupiah setelah tuntas pekerjaan ini.
"ANDA YAKIN SISA UANG ITU AKAN DITUNAIKAN?