Sketsa Muram Elis (1)
Karya. Ersalrif
Di sebuah desa kecil, Elis dilahirkan. Tumbuh dalam asuhan neneknya, yang mengalami kelumpuhan di bagian pinggang hingga kaki.
Di dalam keterbatasan ekonomi, Elis kecil berjuang dengan gigih. Memperjuang hidupnya bersama sang nenek.
"Lis, nanti coba titip kue-kue itu ke warung baru yang kamu sebut kemarin, ya!" ujar Nek Asri sembari menata kue-kue sederhana yang diolahnya sejak subuh.
"Siap, Nek!" seru Elis dengan bersemangat.
Dia segera menyelesaikan persiapan berangkat ke sekolah dengan cepat. Dikancingkan baju seragam putih satu-satunya itu. Warna putih yang sudah tak bisa disebut putih lagi.
Diraihnya beberapa buku tulis tipis, dan dijepit oleh papan jalan pemberian tetangganya Mang Bari. Tetangga yang perduli melihat keadaan Elis kecil, beserta sang nenek.
Namun Elis dididik oleh sang nenek untuk tetap kuat dalam keterbatasan mereka. Setiap libur sekolah, Elis sering membantu Mang Bari dan istri mempersiapkan dagangan, membuat es buah, dengan mencetak berbagai macam buah-buahan menjadi bulat-bulat.
Saat pulang sekolah, Elis akan berangkat ke pasar yang berjarak sekitar lima kilo meter dari rumahnya. Tubuh kurus kecilnya, dipaksa membawa beberapa kilo singkong, beras ketan dan belanjaan lainnya, untuk diolah sang nenek.
"Lis, sudah selesai Nduk!" panggil Nek Asri sembari merosot turun ke bawah, dari balai bambu, tempatnya biasa beraktifitas di dapur.
"Ya, Mbah Do..., sebentar...," sahut Elis seraya memasukkan uang koin ke kantongnya.