Papan putih di konsistori sepi. Bersih. Tak ada satupun nama di sana – nama yang biasanya muncul perihal siapa yang bakal ikat janji di gereja dalam satu dua minggu ke depan. Tidak hanya di gereja itu. Di tempat lain, sama.
Kontras bila dibandingkan dengan kondisi puluhan tahun silam. Sepanjang bulan, sepanjang tahun, papan terisi nama-nama pasangan yang berencana menjalin kata, yang biasanya teracara pada Jumat atau Sabtu.
Tahun-tahun berlalu. Papan makin sunyi dan akhirnya seperti mati suri belakangan ini.
Bukan berarti interaksi antarjemaat terhenti. Keinginan anak-anak muda untuk menikah, ada. Tapi, harapan itu kerap pupus lantaran satu hal. Ya. Satu saja hal: sinamot.
Uli, misalnya, kurang apa. Dia pintar, cantik, baik, anak orang kaya, dan ingin sekali menikah.
Dokter spesialis anak itu ingin berkeluarga. Dia berharap punya empat anak dan merawat mereka. Tetapi, harapan itu, belum juga terwujud, sementara usianya menuju kepala empat.
Sudah pernah Uli batal menikah, lantaran sinamot. Untuk menerima pinangan lain, Uli sepertinya masih kapok. Ternyata bukan hanya dirinya yang mengalami itu. Sejumlah temannya juga. Bahkan, ada yang namanya sempat terpampang di papan putih konsistori, tapi kemudian dihapus lantaran rencana ikat janji mereka batal.
“Lebih baik batal,” bisik ayah Uli kepada parhata sewaktu keluarga Saor menyebutkan besaran sinamot untuk meminang. Jangankan sinamot berupa tanah atau ladang, uang tunai saja pas-pasan bagi keluarga Saor.
Ayah Saor membuka bengkel di pinggir jalan. Ramai tidaknya transaksi, tidak menentu. Isterinya tidak bekerja.
Nama dan karakter baik Saor rupanya tak cukup buat melandaikan tuntutan sinamot dari ayah Uli. Guru sekolah dasar yang mengajar pendidikan agama itu aktif di gereja sebagai pemandu lagu saat ibadah. Dia juga bisa diandalkan untuk memastikan kelancaran sistem audio di gereja.