Kita bisa membayangkan sekarang mengenai keberadaan antar pemain besar dan pemain kecil yang memainkan perannya dalam komoditas minerba menuju booming yang tidak terelakkan beberapa lama lagi.
Percaya diri Jokowi mewanti-wanti atas gugatan lain dari WTO seperti kebijakan tentang komoditas minyak sawit (CPO).Â
Ibarat deretan anak tangga lagu dari musik Rock, komoditas minyak sawit siap dipasarkan keluar setelah mengalami proses pengolahan.
Bentuk kepercayaan diri dari pemimpin negara diharapkan datang pula dari kalangan dunia usaha dan masyarakat.
Tanpa semboyan berapi-api, anak bangsa bangkit melalui hasrat untuk ekspor. Komoditas ekspor digalakkan perlu memerhatikan masa depan umat manusia.
Bukan soal minerba menjanjikan booming atau tidak, melainkan mengembangkan dan menyebarkan hasil dan dampak bagi kemanusiaan.
Hasil produksi minerba non minyak yang melimpah dinantikan untuk kesejahteraan. Disinilah diskursus kesejahteraan sosial ditantang kenampakan wujudnya.
Bukan hanya komoditas nikel dan bijinya yang berorientasi ekspor, paling tidak dengan segala keunggulan komperatifnya, tetapi juga komoditas minerba lain diperlukan strategi dan kebijakan hilirisasi.
Pembentukan strategi dan kebijakan hilirasasi yang meruang bagi komoditas ekspor perlu dibebaskan dari penanda kosong dibalik rencana booming minerba.
Kata lain, anak bangsa yang mengelola komoditas minerba berorientasi ekspor sebelum dan setelah masa booming, tetapi pihak lain yang menikmati hasilnya.
Sesungguhnya ironi! Penanda kosong adalah ironi. Entah itu ekspor nikel maupun ekspor komoditas minerba lain di tanah air kita.