politik identitas dan politik uang tidak kalah menariknya menjelang Pemilu 2024.
Selain hasrat untuk koalisi mengasyikkan, pembicaraan tentang hasratSaat ini, hasrat politik identitas dinilai oleh sebagian pihak sudah mulai kendor. Politik identitas sebagai obralan yang tidak laris lagi.
Bukankah kekerasan simbolik melalui politik identitas lebih berbahaya daripada kekerasan politik?
Orang sudah mengetahui, bahwa politik identitas lebih lama daya tahannya dalam sejarah kehidupan politik, ketimbang politik uang di negeri kita.
Politik identitas tidak lebih dari oposisi duaan: “tinggi” dan “rendah,” “hitam” dan “putih,” “orang luar” dan “orang dalam,” dan sebagainya. Politik identitas menjelma dalam polarisasi yang sangat tajam antara cebong dan kampret atau kadrun dan sejenisnya.
Peristiwa politik pemilu sebelumnya menjadi jejak politik identitas yang tidak terlupakan (ditengarai sejak Pemilu 2019), akhirnya mencabik-cabik persatuan dan kesatuan bangsa dalam perbedaan.
Semestinya kita tidak memusatkan perhatian pada kesalahan-kesalahan berpikir itu sendiri, tetapi belajar sesuatu yang berharga dari festival demokrasi melalui pra Pemilu 2024.
Belajar dari sudut pandang yang berbeda akan menemukan jawaban dari pertanyaan mengapa kita mengalihkan perhatian pada pertarungan gagasan dan kreatifitas.
Sekiranya titik tolak gagasan cemerlang dan kreatifitas baru dari politikus dimungkinkan bisa pula mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan oleh politik identitas.
Memang tidak semua orang berpendapat demikian adanya, karena kapanpun politik identitas ngebut hingga membuat koma dalam kehidupan bangsa sebagai kesalahan berpikir, malahan kita tidak menemukan jalan keluar.
Terjadinya ujaran kebencian yang kemungkinan menumpangi politik identitas tidak bisa diharapkan untuk mengiringi pemilu. Maka semua kasus ujaran kebencian andai sekecil apa pun tetap berada dalam jangkauan pengganggu kedamaian dan keharmonisan bangsa.