Berlangsung kubuka kain pengikat tinggi. Semampai diatas kepala luka terbentur langit. Antariksa kosong nan kini terjadi mendadak. Seketika menjadi gelap padahal hari masih petang. Mata hati memburu ujung rindu gemerlap. Senja ingin rasanya menemani kekasih. Gemilang berdesir kencang sekali. Seraya kecepatan tinggi hingga merobohkan. Mengalahkan apa saja papan reklame pohon. Asal mula rumah penduduk dan gedung lain.
Ketika sewaktu menjadi bunga batin. Sari dalam mimpi durinya menjalar pada ranting. Batang tak ada tangan nan datang. Terbit sehingga tak terpetik lagi biola nan indah. Sani tampak wajah nan sendu tersaruk. Tertarung dibelantara ragu dengan langkah. Aksi terus kedepan membuat kutermenung. Kaget menanti sebuah susunan kata. Bicara sambil mereguk air rotan. Ikatan guna melepas dahaga sesaat bergaung.
Selesai akhirmu berada di ujung samudera. Teluk berputar membawa suhu panas. Meriang membuyarkan awan hitam. Gelap tak dapat membentuk hujan nan angin. Aliran udara lalu terdengar suara halus. Berkumandang hujan jatuh amat lebat. Ketinggalan setelah bait dalam sajak. Karya sastra terlulis dengan kekosongan. Frustasi hitamnya dimasukkan kedalam gelas. Pecah belah raut wajah terlihat lepas.
Puisi : Edy Priyatna
(Pondok Petir, 07 Oktober 2019)