Uang merupakan instrumen vital dalam kehidupan ekonomi. Keaslian dan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah harus senantiasa dijaga karena menjadi fondasi stabilitas moneter. Pemalsuan rupiah tidak hanya menimbulkan kerugian bagi individu, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan menurunkan wibawa negara. Dalam perkara yang dibahas, Terdakwa terbukti melakukan perbuatan mencetak uang palsu menggunakan perangkat digital sederhana.
Kronologi Perkara
Terdakwa, seorang pemilik toko fotokopi, membuat uang palsu pecahan Rp50.000,- menggunakan komputer, printer Epson, dan kertas F4.
Ia mencetak 12 lembar uang palsu yang kemudian diserahkan kepada pelanggan.
Uang tersebut digunakan untuk transaksi seperti membeli nasi pecel dan rokok serta ditukarkan menjadi uang asli.
Polisi berhasil mengungkap kasus ini setelah mendapat laporan masyarakat adanya peredaran uang palsu di pasar. Dari hasil penyelidikan, ditemukan barang bukti berupa CPU, layar komputer, printer, serta beberapa lembar uang palsu.
Pertimbangan Hukum
Jaksa mendakwa terdakwa dengan Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yaitu larangan memalsu rupiah sebagaimana dimaksud Pasal 26 ayat (1).
Unsur "setiap orang" dan "yang memalsu rupiah" dinyatakan terpenuhi.
Majelis hakim menegaskan bahwa pencetakan rupiah hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia. Karena itu, tindakan terdakwa termasuk memalsu rupiah, meskipun uang palsu yang dibuat terlihat sederhana namun jelas berbeda dari aslinya.
Putusan
Pengadilan menjatuhkan pidana penjara selama 5 bulan dan denda Rp50.000.000,-, dengan ketentuan bila denda tidak dibayar diganti dengan kurungan 1 bulan.
Barang bukti berupa perangkat komputer, printer, dan peralatan cetak dirampas untuk negara.
Kertas dan alat pemotong dimusnahkan.
Putusan ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yang menuntut 8 bulan penjara dan denda Rp500 juta.
Analisis
Kasus ini menunjukkan bahwa: