Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Bila Anak Hadapi Bullying, Kuatkan Mentalnya

2 Oktober 2025   10:24 Diperbarui: 2 Oktober 2025   17:48 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu sore, telepon saya berdering. Di ujung sana terdengar suara seorang wali murid, dengan nada tinggi, penuh amarah, bahkan bercampur kesedihan. Ia menuntut penjelasan, mengapa anaknya diperlakukan buruk oleh teman-temannya? Sang anak pulang dari sekolah dengan mata sembab, bercerita bahwa ia dijauhi, diejek, diolok-olok, hingga menangis sepanjang jalan pulang.

Saya bisa merasakan rasa sakit seorang orang tua. Tidak ada yang tega melihat anaknya pulang dengan air mata hanya karena perlakuan teman sebaya. Terlebih lagi, anak ini memang pendiam, tipe introvert, sehingga wajar jika ia kesulitan membela diri.

Namun, pengalaman ini menyentil saya untuk kembali merenung. Masalah bullying bukan sekadar soal siapa yang salah dan siapa yang benar. Lebih jauh dari itu, bullying adalah realitas sosial yang tidak bisa dihapus begitu saja, melainkan harus dihadapi dengan cara yang tepat.

Jika kita jujur, bullying bukanlah fenomena baru. Sejak puluhan tahun lalu, bahkan mungkin sejak sekolah pertama kali berdiri, perilaku mengejek, mengolok-olok, atau menjatuhkan orang lain sudah ada. Bentuknya saja yang berubah mengikuti zaman.

Dulu, bullying lebih banyak berbentuk ejekan langsung di kelas, candaan kasar, atau bahkan kekerasan fisik. Sekarang, bullying merambah ke dunia maya. Media sosial menjadi ruang baru untuk menyebarkan hinaan, komentar jahat, atau foto yang mempermalukan orang lain.

Artinya, bullying adalah masalah yang selalu ada di mana pun dan kapan pun. Kita tidak bisa hanya berfokus pada menghukum si pelaku, lalu berharap masalah selesai. Bahkan jika satu pelaku dihentikan, masih ada kemungkinan pelaku lain muncul. Yang terpenting adalah bagaimana anak yang menjadi korban memiliki benteng pertahanan mental agar tidak tumbang menghadapi itu semua.

Saya bicara bukan dari sudut pandang orang luar semata. Saya sendiri pernah merasakan pahitnya dibully sejak kecil. Saya masih ingat betul masa-masa SD, ketika saya diejek karena kondisi keluarga. Orang tua saya dianggap miskin, penampilan saya sering jadi bahan tertawaan. Kulit saya yang hitam, tubuh saya yang kurus dan tinggi, semua menjadi bahan olokan. Bahkan orang tua saya pun ikut-ikutan jadi bahan ejekan.

Bayangkan perasaan seorang anak kecil yang setiap hari harus mendengar kata-kata merendahkan. Kadang saya pulang dengan menahan tangis, kadang saya berusaha pura-pura kuat. Tapi jauh di dalam hati, luka itu membekas.

Namun, satu hal yang saya syukuri, orang tua saya tidak pernah mengajari saya untuk membalas dendam. Mereka tidak pernah menyuruh saya mencari siapa yang mengejek, lalu menghukumnya. Sebaliknya, mereka menanamkan dalam diri saya, KUATLAH. Jadilah orang yang lebih baik. Lawan ejekan itu dengan prestasi, bukan dengan kebencian.

Di zaman sekarang, banyak orang tua yang bereaksi spontan ketika anaknya mengeluh dibully. Reaksi pertama biasanya marah, menunjuk hidung pelaku, lalu menuntut pihak sekolah segera memberi hukuman. Tentu, langkah itu tidak sepenuhnya salah. Pelaku memang perlu diberi peringatan agar sadar.

Tetapi, jika hanya berhenti di sana, anak korban justru berpotensi tumbuh dengan mental yang rapuh. Ia akan berpikir. saya tidak perlu berusaha menguatkan diri, karena setiap kali saya lemah, orang lain akan datang membela saya.

Anak yang tumbuh dengan cara seperti itu bisa menjadi pribadi yang tidak mandiri, mudah merasa korban, dan sulit menghadapi dunia nyata. Padahal di luar sana, ketika mereka dewasa, tidak ada lagi guru atau orang tua yang selalu siap melindungi.

Saya percaya bahwa inti dari pendidikan menghadapi bullying bukanlah pada "menghajar pembully", tetapi membekali anak dengan kekuatan mental.

Kekuatan mental bukan berarti anak harus melawan dengan kekerasan. Bukan pula berarti membalas dengan olokan yang lebih pedas. Kekuatan mental berarti, anak berani berdiri tegak meski dihina, mampu menjawab olokan dengan prestasi nyata, tidak mudah runtuh oleh ejekan, tetapi menjadikannya bahan bakar untuk berkembang dan sadar bahwa harga dirinya tidak ditentukan oleh omongan orang lain.

Jika mental ini tertanam, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh. Bukan hanya tahan terhadap bullying, tetapi juga siap menghadapi tantangan kehidupan di masa depan.

Sebagai guru, saya tahu bahwa tugas kami bukan hanya mengajarkan pelajaran di kelas. Kami juga punya tanggung jawab moral membimbing anak-anak dalam menghadapi dinamika sosial mereka.

Maka ketika ada kasus bullying, saya tidak serta-merta langsung memarahi pelaku. Saya lebih memilih mengajak anak-anak berdiskusi, memahami apa yang salah, lalu mencari jalan keluar bersama. Saya mengingatkan bahwa mengejek teman bukanlah bentuk kehebatan, melainkan kelemahan.

Pada saat yang sama, saya juga menguatkan anak yang menjadi korban. Saya tanamkan bahwa mereka tidak sendirian, bahwa mereka punya kekuatan dalam diri mereka.

Meski guru berperan besar, peran orang tua jauh lebih vital. Anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga, sehingga pondasi mental mereka dibentuk pertama kali di rumah.

Bagaimana Peran Orangtua?

Orang tua perlu mendengarkan keluh kesah anak dengan penuh empati. Jangan sampai perasaan anak diremehkan, karena hal itu bisa membuat mereka merasa tidak dihargai. Sebaliknya, orang tua bisa mengajarkan anak untuk melakukan introspeksi dengan cara yang sehat, yaitu mengajak mereka melihat apa yang bisa diperbaiki dari diri tanpa harus menyalahkan diri sendiri secara berlebihan.

Selain itu, penting pula menanamkan nilai kebaikan. Anak perlu dibiasakan untuk memahami bahwa membalas hinaan dengan kebaikan jauh lebih mulia daripada membalas dengan kebencian. Dengan begitu, mereka belajar bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada amarah, tetapi pada kemampuan untuk tetap tenang dan bermurah hati di tengah perlakuan yang tidak menyenangkan.

Orang tua juga sebaiknya mendorong anak untuk mengembangkan prestasi, baik dalam bidang akademik, olahraga, seni, atau keterampilan apa pun yang bisa menumbuhkan rasa percaya diri. Tak kalah penting, berikan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Anak akan lebih kuat menghadapi masalah jika melihat orang tuanya juga tangguh dan mampu melewati kesulitan dengan bijak.

Dengan pola asuh seperti ini, anak akan tumbuh bukan sebagai korban yang lemah, melainkan sebagai pribadi yang resilien.

Mari kita realistis, bullying tidak akan pernah benar-benar hilang dari kehidupan. Di sekolah, di kantor, bahkan di masyarakat, selalu ada orang yang merasa lebih kuat dengan cara merendahkan orang lain.

Tetapi, dunia tidak perlu menunggu bullying hilang. Yang perlu kita lakukan adalah menyiapkan generasi yang lebih kuat, yang tidak mudah runtuh hanya karena ejekan.

Anak-anak yang dibekali dengan mental tangguh akan bisa menghadapi dunia apa adanya, tanpa harus jatuh berkali-kali.

Jika suatu hari anak kita pulang dengan wajah sedih karena dibully, jangan buru-buru hanya menyalahkan orang lain. Rangkul mereka, kuatkan hati mereka. Katakan bahwa mereka punya nilai diri yang jauh lebih tinggi daripada olokan siapa pun.

Jadikan setiap ejekan sebagai kesempatan untuk membangun karakter. Dorong mereka untuk lebih rajin belajar, lebih giat berlatih, lebih percaya diri melangkah.

Dengan begitu, anak kita tidak hanya akan selamat dari bullying, tetapi juga tumbuh sebagai pribadi yang unggul, tangguh, dan siap menghadapi kehidupan.

Bullying adalah masalah yang nyata, menyakitkan, dan kadang meninggalkan luka panjang. Namun, cara kita merespons masalah ini akan menentukan masa depan anak-anak kita. Apakah mereka akan tumbuh sebagai korban yang lemah, atau sebagai pribadi tangguh yang menjadikan pengalaman pahit sebagai batu loncatan.

Mari, bersama-sama, orang tua, guru, dan Masyarakat, membangun generasi yang kuat mental, berprestasi, dan penuh kebaikan. Karena dunia ini mungkin tidak bisa bebas dari bullying, tetapi anak-anak kita bisa tumbuh menjadi pribadi yang tidak mudah runtuh karenanya.

Blitar, 2 Oktober 2025

Enik Rusmiati

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun