Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bila Anak Hadapi Bullying, Kuatkan Mentalnya

2 Oktober 2025   10:24 Diperbarui: 2 Oktober 2025   10:24 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu sore, telepon saya berdering. Di ujung sana terdengar suara seorang wali murid, dengan nada tinggi, penuh amarah, bahkan bercampur kesedihan. Ia menuntut penjelasan, mengapa anaknya diperlakukan buruk oleh teman-temannya? Sang anak pulang dari sekolah dengan mata sembab, bercerita bahwa ia dijauhi, diejek, diolok-olok, hingga menangis sepanjang jalan pulang.

Saya bisa merasakan rasa sakit seorang orang tua. Tidak ada yang tega melihat anaknya pulang dengan air mata hanya karena perlakuan teman sebaya. Terlebih lagi, anak ini memang pendiam, tipe introvert, sehingga wajar jika ia kesulitan membela diri.

Namun, pengalaman ini menyentil saya untuk kembali merenung. Masalah bullying bukan sekadar soal siapa yang salah dan siapa yang benar. Lebih jauh dari itu, bullying adalah realitas sosial yang tidak bisa dihapus begitu saja, melainkan harus dihadapi dengan cara yang tepat.

Jika kita jujur, bullying bukanlah fenomena baru. Sejak puluhan tahun lalu, bahkan mungkin sejak sekolah pertama kali berdiri, perilaku mengejek, mengolok-olok, atau menjatuhkan orang lain sudah ada. Bentuknya saja yang berubah mengikuti zaman.

Dulu, bullying lebih banyak berbentuk ejekan langsung di kelas, candaan kasar, atau bahkan kekerasan fisik. Sekarang, bullying merambah ke dunia maya. Media sosial menjadi ruang baru untuk menyebarkan hinaan, komentar jahat, atau foto yang mempermalukan orang lain.

Artinya, bullying adalah masalah yang selalu ada di mana pun dan kapan pun. Kita tidak bisa hanya berfokus pada menghukum si pelaku, lalu berharap masalah selesai. Bahkan jika satu pelaku dihentikan, masih ada kemungkinan pelaku lain muncul. Yang terpenting adalah bagaimana anak yang menjadi korban memiliki benteng pertahanan mental agar tidak tumbang menghadapi itu semua.

Saya bicara bukan dari sudut pandang orang luar semata. Saya sendiri pernah merasakan pahitnya dibully sejak kecil. Saya masih ingat betul masa-masa SD, ketika saya diejek karena kondisi keluarga. Orang tua saya dianggap miskin, penampilan saya sering jadi bahan tertawaan. Kulit saya yang hitam, tubuh saya yang kurus dan tinggi, semua menjadi bahan olokan. Bahkan orang tua saya pun ikut-ikutan jadi bahan ejekan.

Bayangkan perasaan seorang anak kecil yang setiap hari harus mendengar kata-kata merendahkan. Kadang saya pulang dengan menahan tangis, kadang saya berusaha pura-pura kuat. Tapi jauh di dalam hati, luka itu membekas.

Namun, satu hal yang saya syukuri, orang tua saya tidak pernah mengajari saya untuk membalas dendam. Mereka tidak pernah menyuruh saya mencari siapa yang mengejek, lalu menghukumnya. Sebaliknya, mereka menanamkan dalam diri saya, KUATLAH. Jadilah orang yang lebih baik. Lawan ejekan itu dengan prestasi, bukan dengan kebencian.

Di zaman sekarang, banyak orang tua yang bereaksi spontan ketika anaknya mengeluh dibully. Reaksi pertama biasanya marah, menunjuk hidung pelaku, lalu menuntut pihak sekolah segera memberi hukuman. Tentu, langkah itu tidak sepenuhnya salah. Pelaku memang perlu diberi peringatan agar sadar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun