"Bu guru, kapan ajari aku lagi, menulis tentang senyum ceria mentari pagi, matahari yang perkasa, senja yang malu-malu menemui jingga, serta malam yang merindu sang rembulan"
Sabarlah sayang, tetaplah di rumah, dalam ketaatan petuah bijak ayah dan  ketenangan telapak surga ibu. Tuhan sedang memberi ujian kepada kita semua, untuk mengingat apakah kita telah amanah menelaah segala ilmu-ilmu-Nya. Apakah kita telah cukup tabah menerima takdir yang telah digariskan.
Anakku...
Matahari yang terbit esok pagi, akan mencium asamu, apakah kamu akan terus berlaga ke lautan, hutan dan pegunungan, seperti lebah yang mendengung di antara bunga-bunga di taman kota.
Ingatlah, bahwa matahari akan terus meninggi, dan kamu akan duduk di singgasana, dengan tahta di pucuk kepala dan  tugas menebar ilmu kabajikan. Kamu juga harus segera keluar untuk menghayati persoalan nyata di duniamu.
Dan sebentar lagi, matahari akan buru-buru kembali ke peraduan, segeralah membuka kembali lembaran ilmu yang kamu terima di bangku sekolahmu, bacalah, bacalah... karena di situlah  jawaban atas semua pertanyaan hidup.
Yakinlah.. guru terbaikmu adalah pengalaman yang mampu mengajarkanmu memilah dan memilih yang benar, karena kebenaran itu akan menemukan jalannya sendiri.
Anakku, inilah sepucuk surat rindu dari gurumu, yang doanya tidak pernah putus, karena kamulah yang akan berkuasa dimasa depan
Blitar, 14 Mei 2020
Enik Rusmiati
Puisi ini aku persembahkan untuk semua anak-anakku yang sedang belajar dari rumah, bahwa rindu itu telah benar-benar berubah menjadi candu.