Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menguak Akar LGBT dari Sudut Pandang Hipnoterapis

7 Januari 2020   17:50 Diperbarui: 7 Januari 2020   20:11 18757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Instagram melalui BBC Indonesia)

Munculnya kasus Reynhard Sinaga benar-benar menjadi tamparan keras bagi bangsa Indonesia. Ini membuktikan bahwa mereka yang suka dengan sesama jenis memang ada, dan jumlahnya tidak sedikit.

Ibarat fenomena gunung es, yang muncul hanya sedikit. Sementara yang tersembunyi, sulit terdeteksi. Saya pribadi, sejak membuka praktik hipnoterapi klinis, hampir setiap hari ada saja yang konsultasi dan ingin kembali normal dari orientasi seks yang sebelumnya suka sesama.

Harus diakui, fenomena munculnya perilaku seks menyimpang ini sudah ada sejak dulu, bahkan sejak kaum Nabi Luth. Namun yang patut menjadi perhatian, semakin hari jumlahnya semakin meningkat dan memprihatinkan.

Khusus di Indonesia saja, perilaku seks menyimpang ini tak hanya terjadi di kota besar, bahkan boleh dikatakan tersebar di seluruh wilayah. Hanya umumnya kaum Lesbian, Gay, Biseks, dan Transgender (LGBT) ini tentu sangat tertutup dengan masyarakat luas.

Selain itu, saat ini kampanye agar kaum LGBT bisa diterima oleh masyarakat luas, semakin gencar dilakukan. Ini setelah di Amerika Serikat, kaum Lesbian, Gay, Biseks, dan Transgender (LGBT), keberadaannya diakui dan diterima sejak era presiden AS Barrack Obama.

Lantas apa yang menyebabkan seseorang seperti Reynhard Sinaga mengalami penyimpangan seks?

Izinkan saya membahas persoalan LGBT ini dari sudut pandang sebagai hipnoterapis. Saya tidak dalam kapasitas menilai, benar atau salah keberadaan LGBT ini. Lagi-lagi saya tekankan, saya hanya akan membahas dari sudut pandang sebagai hipnoterapis yang kerap bersinggungan dengan masalah ini.

Kisah ini terjadi pada Januari 2016. Sahabat saya ini, seorang perempuan, mengeluhkan tentang keberadaan adik iparnya yang ternyata diam-diam memiliki perasaan suka terhadap sesama jenis. Adik iparnya ini laki-laki, masih tercatat sebagai mahasiswa semester 4 di salah satu perguruan tinggi di Kaltim.

Karena sering curhat dan merasa nyaman, sang adik ipar pun akhirnya mengungkapkan sesuatu yang janggal dalam hatinya itu.

"Ngga tahu kak, kalau lihat foto cowok yang ganteng, rasanya langsung deg-degan," begitu kata sahabat saya ini, menirukan kalimat adik iparnya.

Singkat cerita, adik iparnya ini dibawa konsultasi ke salah satu psikolog yang ada di kota ini. Ternyata, oleh sang psikolog, hal ini dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, bukan dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Itulah yang kemudian membuat sahabat saya ini merasa tidak nyaman.

"Saya rasanya kurang sependapat dengan apa yang disampaikan psikolog itu. Masa yang begini dianggap lumrah," ujarnya dengan mimik serius.

Sebagai kakak ipar, dia merasa khawatir jika adik iparnya ini akhirnya keterusan dan benar-benar menjalani kehidupan sebagai gay.

Singkatnya, sahabat saya ini akhirnya berhasil membujuk adik iparnya untuk menjalani sesi hipnoterapi.

Namun, di sesi perjumpaan pertama, saya tidak langsung melakukan hipnoterapi, melainkan hanya berdiskusi dan memberikan penjelasan lengkap soal hipnoterapi. Kenapa?

Karena dia datang karena permintaan kakak iparnya. Sehingga perlu edukasi yang detail hingga akhirnya keputusan menjalani hipnoterapi itu datang dari dirinya sendiri.

Penjelasan yang saya berikan, akhirnya dapat diterima dengan baik. Sepekan kemudian, klien ini akhirnya bersedia menjalani sesi hipnoterapi, tanpa kakak iparnya, bahkan tidak diketahui kakak iparnya. Ia ingin, kakak iparnya tidak mengetahui proses hipnoterapi itu.

Begitu duduk di kursi terapi, ternyata klien langsung abreaksi. Pertahanannya bobol, diiringi rembesan air mata yang meleleh dari kedua pelupuk matanya. "Perempuan itu tidak ada gunanya... bisanya hanya merusak perasaan, bikin sakit hati," ujarnya.

Melihat kondisi klien yang sudah hipnosis seperti ini, saya pun tinggal membimbing klien untuk masuk semakin dalam ke pikiran bawah sadar yang efektif untuk melakukan terapi. Uji kedalaman berhasil, proses hipnoanalisis pun berlanjut.

Klien langsung terlempar pada kejadian selepas lulus dari salah satu SMA favorit di Samarinda. Klien mengalami kembali kejadian itu.

Ketika itu, klien dan pacarnya, seorang perempuan, sudah berjanji akan melanjutkan kuliah terlebih dahulu, baru kemudian menikah.

Namun ternyata, satu bulan kemudian, sang pacar menikah dengan pria lain karena dijodohkan orang tuanya. Sang pacar hijrah ke Balikpapan, menikah dengan salah satu aparat yang berdinas di Balikpapan.

Kejadian inilah yang membuat klien sangat sedih, sehingga menganggap perempuan sama saja.

Lantas, apakah ini menjadi akar masalah sehingga dia mengalami gay? Ternyata ada akar masalah lain.

Kesedihan pertama kali justru muncul ketika usia 5 tahun, ketika ibunya pergi meninggalkan ayahnya. Ketika itu, ayahnya baru saja di-PHK dari sebuah perusahaan swasta. Ibunya ternyata justru kepincut dengan pria lain, sehingga pergi begitu saja. Itulah pemicu awal timbulnya rasa benci klien terhadap sosok perempuan.

Sejak itu, dia hanya hidup dengan ayahnya. Beberapa kali ada perempuan yang mencoba mendekati ayahnya, namun ternyata juga tidak ada yang tulus, melainkan hanya melirik hartanya saja.

Pikiran bawah sadar klien akhirnya mendapat informasi yang tegas dan jelas, bahwa perempuan itu sumber masalah. Inilah yang memunculkan perasaan berbeda terhadap laki-laki. Dia menjadi antipati terhadap perempuan, sebaliknya, menjadi semakin nyaman dengan laki-laki.

"Laki-laki ngga ribet. Ngga pernah minta ini dan itu," ujarnya ketika dikonfirmasi pikiran bawah sadarnya.

Dengan teknik khusus, dilakukan rekonstruksi terhadap pikiran bawah sadar. Klien akhirnya bersedia kembali menjalani hidup dengan normal. Beberapa akar masalah yang menjadi penyebab, dicabut dan dimusnahkan secara permanen.

Hasilnya, sepekan kemudian klien mengirimkan pesan pendek, bahwa kini sudah memiliki pacar seorang perempuan. "Anaknya baik, pengertian. Malah saya sering diajarin ngaji sama dia. Jadi malu," begitu bunyi pesan pendeknya.

Tak hanya saya, rekan sesama hipnoterapis lulusan Adi W. Gunawan Institute (AWGI) lainnya juga tak sedikit yang pernah menangani klien LGBT ini.

Hasilnya, semua berhasil dikembalikan secara normal. Bahkan, klien yang sebelumnya akan memutuskan untuk operasi kelamin, akhirnya benar-benar batal dan kembali menjalani hidupnya seperti sedia kala.

Sahabat, izinkan saya mengambil kesimpulan, LGBT bisa dikembalikan secara normal jika klien memang bersedia. Seperti halnya Reynhard Sinaga yang kini sedang menjalani hukuman di Inggris, bisa dikembalikan seperti semula jika memang berkenan dibantu.

Silakan mengambil kesimpulan sendiri, apakah LGBT ini anugerah atau penyimpangan. Yang jelas, dalam kapasitas keilmuan yang kami miliki, klien LGBT bisa ditangani secara permanen dan tuntas.

Bukankah ketika bayi lahir, hanya ada dua jenis kelamin, laki-laki atau perempuan. Dalam perjalanannya, ternyata banyak faktor dan penyebab, kenapa kemudian muncul perasaan yang aneh dan berbeda terhadap sesama jenis.

Dari diskusi dengan sesama hipnoterapis lainnya, ada banyak akar masalah yang menjadi penyebab. Misalnya, ada yang kehilangan figur seorang ayah. Hingga akhirnya dia lebih suka sosok laki-laki sebagai pelindung, meski dia juga seorang laki-laki.

Ada pula yang takut ketika berhubungan dengan lawan jenis, bisa hamil. Sehingga kemudian memilih jalur aman dengan menyalurkan hasrat biologisnya dengan sesama jenis. Ada pula yang karena penasaran karena sudah dianggap tren, serta ajakan orang lain yang lebih dahulu sudah menjadi LGBT.

Banyak lagi akar masalah lain yang menjadi pemicu, dan kemudian melekat di pikiran bawah sadar. Ketika akar masalah ini dicabut, nyatanya klien bisa kembali normal seperti sedia kala.

Dengan kenyataan seperti ini, silakan pembaca sendiri yang menyimpulkan. Yang pasti, kami bisa membimbing mereka untuk menjalani kehidupan yang lebih nyaman dengan orientasi seks kembali normal.

Demikianlah kenyataannya. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun