Mohon tunggu...
endri elang2
endri elang2 Mohon Tunggu... Kepala Sekolah/Guru

saya seorang Kepala Sekolah SMP. sudah hampir 19 tahun mengabdi di dunia pendidikan. Saya percaya setiap siswa adalah individu yang unik, memiliki potensi luar biasa yang perlu ditemukan dan dikembangkan. disamping itu saya selalu berjuang keras untuk memajukan sekolah dengan cara siswa karakter, prestasi, sehingga menjadi kebanggaan orang tua.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Dian yang di Padamkan

12 Oktober 2025   08:23 Diperbarui: 12 Oktober 2025   08:23 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kota kecil bernama Semarang, seleksi calon kepala sekolah digelar besar-besaran. Enam puluh empat peserta dari berbagai sekolah hadir dengan satu harapan yang sama yaitu membawa perubahan di dunia pendidikan. Aku salah satunya, datang bukan karena ambisi, tapi karena keyakinan bahwa pendidikan bisa lebih baik jika dijalankan dengan hati.

Tes berlangsung ketat. Sebelumnya pun, beberapa syarat berat sudah harus dilalui. Ada ujian tertulis, wawancara, hingga paparan visi dan misi pendidikan.

Hari itu, aku berbicara dengan jujur, tanpa naskah, tanpa basa-basi tentang keyakinanku bahwa sekolah seharusnya menjadi tempat tumbuhnya manusia, bukan sekadar mesin penghasil nilai.

Ketika tiba giliran presentasi, panitia memberi waktu hanya sepuluh menit untuk membuat slide PowerPoint. Waktu yang begitu singkat, hampir mustahil untuk mengolah ide secara sempurna. Tapi aku tidak ingin kehilangan makna di balik terbatasnya waktu itu.

Tanpa berpikir panjang, aku membuat dua kapal pendidikan yang berlayar di samudra luas.
Kapal pertama berlayar utuh, kokoh, dengan awak yang saling percaya dan bekerja bersama menuju tujuan. Bekerja sesuai SOP masing-masing. Menjaga engine, bahan bakar, layer, nahkoda sampai ruang dapur harus ditata sedemikian rupa.

Kapal kedua separuhnya tenggelam, awaknya saling menyalahkan, nahkodanya kehilangan arah, dan layar robek diterpa badai, terombang ambing tanpa arah.

Lalu aku berkata,

"Pendidikan kita bisa menjadi kapal pertama jika semua bergerak dengan tujuan yang sama. Tapi bisa juga menjadi kapal kedua jika ego dan kepentingan pribadi menguasai haluan."

Ruangan mendadak hening. Semua mata tertuju padaku. Aku tidak membawa grafik, tidak menampilkan data berlapis, tapi aku bicara dengan hati. Karena bagiku, pendidikan bukan soal presentasi yang indah, melainkan arah yang benar.

Setelah tes selesai, banyak ucapan masuk. "Selamat, nilaimu pasti tinggi." "Kamu calon kuat." Aku hanya tersenyum kecil. Tidak ingin berandai-andai.

Beberapa hari kemudian, kabar itu datang. Keputusan pimpinan Yayasan di anulir. Karena pasca tes tersebut dikembalikan kepada Yayasan masing-masing.

Alasannya singkat tapi menohok:

"Masih muda."

"Masih kuliah."

Padahal, tak satu pun dari dua hal itu tercantum dalam kriteria pendaftaran calon kepala sekolah.
Dan "masih kuliah" yang dimaksud bukan sekadar mahasiswa biasa akan tetapi aku adalah penerima beasiswa S2 di Solo, sebuah amanah yang justru seharusnya menjadi nilai tambah, bukan penghalang.

Tapi di dunia nyata, logika sering kalah oleh "faktor X".

Aku tahu, ada yang tidak suka. Ada yang merasa aku terlalu cepat naik, terlalu muda untuk dipercaya. Maka keputusan itu dijatuhkan tanpa dasar, tanpa penjelasan yang pantas. Didorong sendiri, dimatikan sendiri.

Beberapa hari kemudian aku dipanggil oleh pihak yayasan. Salah satu pimpinan bertanya, dengan nada datar tapi penuh ujian:

"Apakah Saudara tidak menyesal, tidak menjadi kepala sekolah?"

Aku menatapnya, lalu menjawab tegas:

"Tidak. Tidak jadi kepala sekolah tidak apa-apa. Kepala sekolah hanya jabatan sementara. Yang penting siapa pun pemimpinnya, jalankan pendidikan sebagaimana mestinya. Sejahterakan guru, majukan murid, dan jangan matikan semangat orang yang ingin berbuat baik."

Ruang itu mendadak hening. Tidak ada yang membalas. Tapi aku tahu, kata-kataku sudah cukup.

Seminggu setelah pengumuman dan pelantikan kepala sekolah baru, aku menulis surat pengunduran diri. Bukan karena kalah, tapi karena aku sadar ini bukan lagi tempatku. Tempat di mana kerja keras bisa dipatahkan oleh selera, dan niat baik dikalahkan oleh kekuasaan.

Ketika melangkah keluar dari gerbang sekolah, sore itu terasa panjang. Ada perih yang sulit dijelaskan, tapi juga kelegaan yang anehnya menenangkan. Aku menatap langit dan berjanji dalam hati:

"Suatu hari nanti, jika aku diberi amanah memimpin, aku akan melakukannya dengan adab. Aku tidak akan pernah membuang, apalagi membunuh karakter pendidik yang berjuang dengan hati."

Karena sekolah bukan tentang kursi jabatan, sekolah adalah tentang nurani. Dan selama nurani masih hidup, pendidikan tak akan pernah padam. (bersampung)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun