Beberapa hari kemudian, kabar itu datang. Keputusan pimpinan Yayasan di anulir. Karena pasca tes tersebut dikembalikan kepada Yayasan masing-masing.
Alasannya singkat tapi menohok:
"Masih muda."
"Masih kuliah."
Padahal, tak satu pun dari dua hal itu tercantum dalam kriteria pendaftaran calon kepala sekolah.
Dan "masih kuliah" yang dimaksud bukan sekadar mahasiswa biasa akan tetapi aku adalah penerima beasiswa S2 di Solo, sebuah amanah yang justru seharusnya menjadi nilai tambah, bukan penghalang.
Tapi di dunia nyata, logika sering kalah oleh "faktor X".
Aku tahu, ada yang tidak suka. Ada yang merasa aku terlalu cepat naik, terlalu muda untuk dipercaya. Maka keputusan itu dijatuhkan tanpa dasar, tanpa penjelasan yang pantas. Didorong sendiri, dimatikan sendiri.
Beberapa hari kemudian aku dipanggil oleh pihak yayasan. Salah satu pimpinan bertanya, dengan nada datar tapi penuh ujian:
"Apakah Saudara tidak menyesal, tidak menjadi kepala sekolah?"
Aku menatapnya, lalu menjawab tegas:
"Tidak. Tidak jadi kepala sekolah tidak apa-apa. Kepala sekolah hanya jabatan sementara. Yang penting siapa pun pemimpinnya, jalankan pendidikan sebagaimana mestinya. Sejahterakan guru, majukan murid, dan jangan matikan semangat orang yang ingin berbuat baik."