"Mau ke atas ya, nak?" ia lantas bertanya.Â
"Betul, saya ingin mengunjungi rumah Bunda Maria".
"Kalau begitu bareng saya saja. Saya yang mengurus rumah itu," ajaknya.
Aku gembira,"Kebetulan sekali. Terimakasih".
Kemudian aku mengikuti langkahnya yang cepat. Tahu-tahu kamu sudah berada di depan rumah tersebut. Padahal tadi aku merasa jaraknya masih jauh.
Rumah Bunda Maria masih tegak berdiri meski telah berusia berabad-abad. Â Bentuknya sederhana dari susunan batu-batu. Halaman luas dengan pepohonan yang rindang. Ada patung Bunda Maria, ada juga pancuran air.Â
Berhubung hari telah gelap, Â lelaki tua itu mengajak aku masuk. Dalam ruangan kuno aku duduk sambil melihat interior klasik yang mendatangkan perasaan tenang. Ah, beginilah rumah orang suci, penuh dengan rahmat Tuhan.Â
Lelaki tua itu muncul dari arah dapur dengan membawa baki berisi secangkir teh dan sepiring makanan.Â
"Kamu pasti lapar dan haus," senyum teduh membuat aku merasa nyaman.
Setelah mengucapkan terimakasih, aku melahap habis makanan tersebut. Ternyata aku memang sangat lapar. Dia hanya memperhatikan dengan tertawa kecil.
"Kamu muslim kan? Ini sudah waktunya salat Maghrib. Di ruang sebelah ada musholla kecil yang bisa kamu gunakan".Â