Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Krisis Cinta di Ruang Publik

12 Desember 2020   09:40 Diperbarui: 12 Desember 2020   09:45 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dewasa ini, kita semua sedang mengalami krisis multidimensi yang salah satunya adalah kronisnya penyakit kebencian dan permusuhan. Rasa saling percaya di antara kita semakin menipis. Semua berlomba-lomba meyakinkan pihak lain tentang kebenarannya sendiri. Nilai ketulusan dan kebersihan hati, tidak menjadi hal yang penting lagi selain keserakahan diri dalam mengklaim sebuah kebenaran sejati.

Siapapun yang bersikap kaku, arogan, kasar, dan keras, sudah dipastikan orang lain akan menghindar. Sebaliknya, sikap mengajak, merangkul, membujuk, dan merayu penuh dengan rasa welas asih cinta, kelak akan rindu mendekat. Barangkali hal itu yang menjadi kunci keberhasilan Nabi dalam upaya profetiknya berdakwah di ruang publik. Fakta tersebut ketika peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Makkah). Nabi mengampuni semua orang Makkah yang pernah menyakiti Muslim. Nabi secara suka rela dan terbuka, menerima mereka semua masuk Islam secara masif.  

Bentuk cinta kita terhadap Sang Pencipta dalam keseimbangan hidup, dapat kita implementasikan  dalam bentuk ketaatan shalat. Menurut Philip K. Hitti dalam buku History Of The Arabs (2018), shalat berjamaah ini pasti memiliki nilai yang tinggi bagi masyarakat padang pasir yang tinggi hati dan individualis. Ibadah shalat mengembangkan dalam diri mereka rasa kesetaraan sosial dan solidaritas. Shalat membangkitkan persaudaraan di antara orang beriman yang secara teoritis menggantikan persaudaraan yang didasari garis keturunan dan kesukuan.

Ritus shalat seharusnya tertransendensi dalam kehidupan, yakni menebarkan cinta dan kasih sayang terhadap sesama makhluk Tuhan, tanpa sekat-sekat mazhab. Karena yang diwajibkan adalah mendirikan shalat. Ada pun metodenya bisa saja berbeda sesuai dengan mazhab yang dianut. Perbedaan warna apapun merupakan keniscayaan dari Tuhan yang tak dapat dihindari, apalagi mengelak. Titik tekannya adalah cinta sehingga membangkitkan kedamaian dan persatuan.

Selain itu, secara epistemologis, zakat yang merupakan salah satu rukun Islam, melambangkan kasih sayang yang identik dengan kesalehan sosial. 

Pungutan wajib atas harta yang dimiliki---uang, pertanian, peternakan, barang dagangan, dan seterusnya---untuk didistribusikan kepada yang lebih membutuhkan seperti fakir dan miskin sesuai dengan jumlah harta yang dimiliki dan ketentuan hukum syariatnya. Al-Quran sendiri sering menyandingkan kewajiban berzakat dengan kewajiban mendirikan shalat. Demikian ritual ibadah dalam bentuk rasa cinta kasih sayang secara vertikal yang patut ditransformasikan ke dalam perilaku sosial kehidupan umat Islam sehingga keadilan berdiri tegak.

Namun sangat disayangkan, sebagian umatnya tidak begitu mengikuti karakteristik dan ajaran cinta Nabi, atau setidaknya lupa akan ajaran Islam yang sesungguhnya. Dan bahkan sebaliknya, ajaran hawa nafsu yang tak terkendali untuk menghakimi pihak lain yang tidak satu pemahaman, tidak satu pandangan. 

Dengan demikian, maka cahaya cinta tidak lagi bersinar terang. Ia sendiri telah mematikan saklar dengan angkuh dan pongahnya kebenaran mutlak yang sempit. Akibatnya, kegelapan menyelimuti dunianya sendiri, tanpa melihat cahaya di luar jauh. Kondisi seperti inilah yang sedang menghinggapi sebagian dari kita.

Padahal, jalan menuju Tuhan adalah dengan cinta. Dalam 99 sifat asmaul al-husna, Allah SWT memiliki sifat yang pertama kali disebutkan, yakni ar-rahman dan ar-rahim. Ini menandakan bahwa Islam merupakan jalan cinta yang tentu saja menjadi hal fundamental menuju Tuhan. Tidak hanya itu, ketika umat Islam membaca al-Qur'an, bacaan tertulis paling atas sebelum ayat adalah bismillahirrahmanirrahim. Sifat cinta Allah ini yang paling utama diberikan oleh Allah kepada seluruh makhluk hidup termasuk manusia untuk keberlangsungan hidup.

Jalaludin Rumi tampaknya juga mengikuti jalan cinta menuju Allah, sebagaimana ia mengatakan dalam sajaknya yang eksotis, "Banyak jalan menuju Tuhan, tetapi aku memilih jalan cinta." Berbeda dengan Hasan Al-Bashri yang memilih khauf atau rasa takut kepada Tuhan, Rumi lebih merasakan cintanya kepada Sang Pencipta Alam Semesta. Rumi meletakkan cinta sebagai hal paling utama bagi seorang Muslim dalam kehidupan sosial yang banyak menginspirasi juga bagi kalangan Non-Muslim.

Cinta mampu menyatukan dan mempersatukan. Ketika cinta tumbuh di antara pria dan wanita, maka buahnya adalah keturunan. Dengan cinta, orang tua manapun rela berkorban apa saja demi anaknya. Ketika seorang guru mencintai muridnya dengan tulus, ia rela mencurahkan segala perhatian dan keilmuan demi kesuksesan muridnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun