Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bahaya Mengatasnamakan Revolusi Akhlak

12 November 2020   17:40 Diperbarui: 17 November 2020   09:14 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kadrun.id/2020/11/11/bahaya-mengatasnamakan-revolusi-akhlak/

Revolusi adalah sebuah perubahan secara radikal. Revolusi, juga berarti mengubah kebiasaan lama. Sejarah revolusi yang dilakukan oleh baginda Nabi Muhammad SAW. pada era Arab Jahiliyah, hanya dalam kurun waktu 25 tahun saja, Nabi mengubahnya secara gemilang spektakuler dalam mentransformasikan kejumudan menjadi basis akhlak dalam peradaban yang maju, baik dibidang sosial, ekonomi pemberdayaan umat, dan kesetaraan, maupun dalam politik tata negara dan militer.

Di balik kesuksesan Nabi itu, ada al-Quran selaku penuntun akhlak yang menjadi misi utamanya dalam membentuk kepribadiannya yang begitu sempurna dalam perspektif kemanusiaan. Dalam pembentukan kepribadian nabi, faktor keluarga seperti kakeknya Abdul Muthalib, kemudian pamannya Abu Thalib, memiliki peranan penting dalam menanamkan benih-benih pembentukan karakter menuju keberhasilan misinya.

Sosok ideal seperti Nabi Muhammad SAW. tidak akan pernah lahir kembali, dan sejarah tidak akan berulang. Akan tetapi, budi pekerti dan karakternya bisa lahir kapanpun dan di manapun setiap kali ajarannya diaktualisasikan dalam kehidupan. Sederhananya, Nabi membela kaum yang lemah dan minoritas budak. Lihatlah fakta saat ini, berapa Muslim yang membela kaum lemah dan minoritas?

Salah satu faktor paling menonjol saat ini adalah konflik internal yang kecenderungannya berselisih berdasarkan kepentingan. Umat Islam sekarang ini, lebih cenderung mementingkan formalitas daripada substansi. Lebih mementingkan duniawi daripada ukhrawi. Lebih mementingkan kulit daripada isi.

Seluas apapun pengetahuan hukum-hukum fiqih, setinggi apapun nasab dalam diri pribadi, sehebat apapun gagasan dan argumentasi, sekuat apapun seseorang dalam karir politik, jika mengabaikan faktor terpenting dalam diri manusia, yakni karakter akhlak kepribadian, maka tidaklah dapat menjadi patokan untuk menciptakan perubahan sosial sesuai tuntunan Nabi.

Sudah jelas, gamblang dan terang bahwa Nabi Muhammad SAW menyatakan, "Aku diutus oleh Tuhan hanya untuk menyempurnakan akhlak." Bukan sebuah pernyataan moral---Revolusi Akhlak---yang sedang digaungkan oleh Habib Rizieq Shihab dan pengikutnya. Sementara intisari risalah dan misi Nabi, tidak diimplementasikan sendiri oleh mereka.

Revolusi Akhlak memang sebuah pernyataan bagus, namun salah sekali jika kita analisis lebih dalam. Islam adalah sebuah ajaran di mana akhlak merupakan poin utama. Ajaran dan revolusi itu sebetulnya sudah dilakukan oleh Nabi, tinggal diinternalisasi dan implementasi nyata. Sementara, mereka-mereka yang menggaungkan Revolusi Akhlak, tidak merepresentasikan akhlak juga. Bagaimana mau merevolusi? Revolusi Akhlak dimulai dari diri sendiri, tidak merasa paling bermoral, dan hanya benar sendiri.

Beberapa fakta insiden yang melibatkan Front Pembela Islam (FPI) yang selalu menimbulkan kegaduhan semenjak berdirinya organisasi ini, tidak sama sekali merepresentasikan akhlak. Contoh yang baru-baru ini saja, dampak dari penjemputan HRS di bandara, menimbulkan keresahan masyarakat akibat kemacetannya, molornya jadwal sejumlah maskapai penerbangan selama empat jam, dan beberapa kerusakan fasilitas bandara.

Belum lagi, saat ini kita sedang menghadapi Pandemi Covid-19, berapa pelanggaran protokol kesehatan pada saat penjemputan HRS? Inikah yang dinamakan Revolusi Akhlak? Berislam, bertuhan, dan berakhlak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah satu sama lain. Tujuannya, kebaikan dan keselamatan. Ini yang kemudian menjadi bahaya ketika menyimbolkan Revolusi Akhlak, justeru malah meracau. Mereka ini yang telah meninggalkan ajaran nabi. Konsepsi yang dibangun oleh Nabi tentang akhlak mengalami degradasi makna. Jika kamu bertuhan, maka kamu berakhlak. Berakhlak berarti merefleksikan Tuhan dan ajaran Nabi yang absolut, yakni cinta dalam laku kehidupan, baik yang bersifat individual, maupun sosial.

Berdasarkan argumentasi di atas, HRS beserta kelompoknya ini sedang membangun eksklusivitas yang dibentuk berdasarkan interpretasi agama. Dengan jargon Revolusi Akhlak, mereka lebih mementingkan institusi formal agama daripada nilai utama ajarannya.

Eksklusivitas yang terbentuk dari pemahaman agama sebagai sistem aturan tata kelola kepercayaan menyuburkan kecenderungan penguasaan atas umat oleh para pemuka agama, yang kemudian pada gilirannya membangun koalisi dan kolaborasi dengan penguasa politik. (Prof. Dr. Husain Mu'nis, 2019: 20). Karena akhlak itu telah diajarkan, maka akhlak tinggal diterapkan, tidak perlu lagi merevolusi hanya sekadar untuk meraih simpati. Begitupun Pancasila, tinggal mengamalkan. Perubahan makna tersebut, melahirkan identitas berdasarkan kepentingan politik. Ini yang patut kita waspadai dan pahami bersama.

Jadi, Revolusi Akhlak yang digaungkan hanya untuk menjadi legal formal dalam lingkaran kepentingan, dan bukan lagi membangkitkan misi Nabi. Saat substansi agama meninggalkan misi akhlaknya, maka polarisasi identitas akan menyeruak. Siapa versus siapa, siapa anti siapa, konsep siapa dan bersama siapa saja? Maka jelas yang dikatakan oleh HRS dalam pernyataan kepada jamaahnya di Front TV, pada selasa (10/11/2020), yakni Revolusi Akhlak versus Revolusi Mental. Ini yang saya sebut sebagai bahaya dari sebuah jargon mengatasnamakan Revolusi Akhlak.

Padahal, gagasan Nabi dalam pembentukan karakter bukan identitas, melainkan nilai-nilai kedaulatan, penyucian jiwa, independensi, kebijaksanaan, kejujuran, mengedepankan musyawarah, dan kasih sayang antar sesama.

Hal itu diabadikan dalam Piagam Madinah antara koalisi penguasa dan pemuka agama. Dalam konteks Indonesia, Pancasila tentunya.

Saya lebih melihat ada pesan "sponsor" pada sebuah jargon Revolusi Akhlak dalam bentuk propaganda. Menggunakan dan mengatasnamakan istilah-istilah agama, menjadi prevalensi dalam meraih kepentingan politik kelompok-kelompok Islamis---HTI, Ikhwanul Muslimin, Militan ISIS---sebagai kendaraan dalam meraih kekuasaan. Akhlak yang seharusnya menjadi hal yang primer bagi umat Islam dalam sosio-kultur kehidupan, kini hanya sekadar simbol kepentingan. Nabi mengajak umat manusia untuk berorientasi pada kebaikan dengan akhlak, bukan pada kekuasaan.

Akhlak sebagai kepribadian dan karakter manusia, bukan dipersepsikan untuk dikonsepkan lalu didoktrinkan, melainkan untuk diimplementasikan dalam bentuk kebaikan, kasih sayang, dan persaudaraan.

Sepanjang kita berbuat baik, maka kita telah berakhlak. Jika kita menebarkan kasih sayang dan cinta, maka kita berakhlak. Tidak menjadi seorang Muslim manakala kita ini berbuat keburukan, merusak, meresahkan, intoleran, berperilaku keras atau ekstrem, dan menebar kebencian.

Moralitas Islam, ditujukan bukan pada jargon dan simbol, namun sudah kodrati kemanusiaan universal sebagai bagian inheren yang melekat pada asas kebersamaan kohesif, persaudaraan sejati, dan rela berkorban. Revolusi Akhlak yang digunakan pemuka agama merupakan pemaknaan sebagai basis doktrin otoritas keagamaan dalam lingkaran eskalasi politik.

Syahdan, Revolusi Akhlak yang dikumandangkan, adalah sebuah tipu daya, menyembunyikan kenyataan dan bohong, hanya untuk relevansi politik. Membiaskan arti revolusi dan akhlak sebagai perubahan fundamental belakangan ini, adalah sebuah pejorasi yang dibuat oleh pemuka agama yang dikultuskan. Namun, tidak pada tataran aplikatif dalam arti merubah dirinya sendiri. Dan ini bahayanya sebagian umat Islam yang telah terdistorsi dengan mengatasnamakan istilah-istilah ajaran Nabi, bukan berperilaku secara langsung.

Semestinya, sebagai umat Islam yang beriman, tinggal mengaplikasikannya dengan baik dalam kehidupan secara substansial, dan tidak menjadikannya berhala simbol dengan mengatasnamakan istilah agama, hanya untuk memenuhi hajat elite politik. Bahaya.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun