Suara beduk terdengar beberapa kali. Nyaring, menandakan lengsernya sang surya menuju gelap gulita. Sebentar lagi adzan magrib akan tiba, namun seakan langkahku enggan tuk beranjak. Lagi-lagi aku terkesima, pada elok cahaya senja yang menembus tak hanya pada pelupuk retina mata, namun sampai ke relung sanubari jiwa. Hai, bolehkah aku sejenak melambai? Menyampaikan rindu yang tak pernah berujung, sama seperti tak ada ujungnya ketika kakiku berlari tuk mencari lembah senja yang sejati. Disini, aku duduk paling akhir, paling menunggu hingga senja menyapa jumpa. Seolah sinarnya menari-nari dalam lamunanku, membisikkan "Apa kau juga akan tetap menunggu untuk seseorang nun jauh disana, yang tak pernah ada pasti. Akankah ia kembali atau justru hilang dan tak peduli. Aku kagum akan rasa setiamu, tapi kadang kala aku juga kasihan melihat matamu yang lugu, yang tak lejar dalam menunggu."
Tergerak rasaku untuk memudarkan lamunan itu, dan kembali menatap rona kemerah-merahan yang mulai padam menjadi hitam malam. Desir hatiku menyembul doa "Tuhan, izinkan. Izinkan aku menantinya. Menanti seorang berperangai adiluhung, penuh sahaja nan bijaksana. Tuhan, aku menanti dalam setia. Patuh dalam syariat dan berlabuh dalam munajat." Sang Maha yang menautkan hati para hamba semoga berkenan memberi jawab terbaiknya. Sang Maha tak akan keliru mengabulkan pinta tepat pada waktunya. Selama percaya selalu membersamai relung hati, tak ada kata lelah untuk menanti. Satu hal yang mengisi keyakinanku ada pada salah satu petikan buku karya penulis fenomenal Andrea Hirata, tulisannya indah sekali 'Lelaki yang baik akan mendapatkan perempuan yang baik. Perempuan yang baik, akan mendapatkan lelaki yang baik, begitu ajaran pokok dalam agama yang kupeluk.' Mataku bersinar-sinar, senyumku membuncah ruah. Tak hengkang rasa tungguku, sebab aku tahu, menunggumu adalah proses panjang untuk menelisik lebih dalam naluriku. Menunggumu adalah proses panjang untuk membentuk jati diri sejatiku; hamba yang memasrahkan segalanya pada Sang Maha Kuasa.
Sewindu tanpa jengah aku menunggu. Kabar adalah hal yang teramat mahal. Seakan sekat yang harus kita daki bersama. Tunggu. Kita? Hampir-hampir aku lupa. Aku dan dirimu rasanya tak pernah menjadi bagian, hanya sekadar menjadi insan yang saling pandang dalam menanti kabar kebahagiaan. Pesan terakhirmu kepadaku rasanya menyayat, tertuliskan "Setiap kabar baikmu selalu aku tunggu". Padahal batinku berteriak menjawab "Mengertilah, bahwa kamu adalah kabar baik yang selalu aku nantikan". Kembali, sekadar kabar adalah hal yang mahal. Poros waktu terus melibas banyak kesibukan yang kurajai, dan ya kutahu kau disana tentu lebih sibuk daripada diriku. Sibukmu bukan perkara kaleng-kaleng, sibukmu merupa penjara yang kau kekang masa muda untuk memusatkan perhatian tentang bahagia hari tua. Merupa lagu Batas Senja pada penggalan liriknya "Sederhana. Bahagia kini lengkap sudah. Sama-sama hingga nanti ajal kita tiba. Semoga saja niat baik 'kan terwujud seg'ra. Asal kita percaya Dia Maha Segalanya." Dahulu, lagu itu yang selalu memutar pada linimasa yang kau dan aku bincangkan. Meskipun kau dan aku tak pernah tahu dengan siapa kelak kan mewujudkannya. Di sembarang tempat, kala lagu itu diputar, aku turut merapal doa diujung liriknya "Jangan dulu lelah. Yakin semua indah. Pejamkanlah mata pada-Nya kita berserah." Kala simfoni itu berdendang, berulang, seakan melambungkan ikrar akan keyakinan pada garis takdir yang Tuhan telah rencanakan.
Lembayung rindu, lembayung yang memancarkan warna indah kala matahari terbenam. Aku yang berjarak ribuan kilometer darinya, melintang pukat mengibas rindu yang tak ada ujungnya. Aku titip ia dalam perlindungan Sang Maha Segalanya. Aku titip segala surat kabar yang mungkin tersampaikan untuknya. Barangkali, jika ia membuka suratan ini, yang ditulis dari lubuk terdalamnya hati, yang dirapal dengan segenap harap menuai asa sejati. Barangkali, jika ia masih sendiri atau kini telah menemukan tambatan hati. Kumohon lembayung melalui perantara tangan Tuhan, sampaikan sejenak kerinduan ini pada sinarmu yang merona membelai jiwa meniadakan segenap lara. Biarlah aku tetap disini menanti kabar baiknya, biarlah kuperpanjang masa tungguku yang tak tahu, mungkinkah nanti tergenapkan hingga satu dasawarsa. Biarlah doa-doa terus menyambanginya. Andai dulu aku bisa berlari menjauhinya tentu kulakukan. Namun sayang "Memisahkan diri darinya, bak menceraikan melati dari harumnya."
[Tanah Surakarta; tempat catatan rindu bermuara untuknya]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI