"Kretak -kretak, brak..."
Suara ranting-ranting yang kupatahkan dan kulempar pada nyala api. Irama gesekan angin pada dahan-dahan jati membuat malam ini semakin dingin. Bulan purnama yang tadi terang kini tenggelam dalam bayangan awan. Membawaku pada kenangan kepedihan. Di tempat ini aku katakan cinta padanya. Di tengah hutan jati Pagak, saksi kami mengikat cinta saat SMA. Empat tahun setelahnya aku melamarnya dan begitulah dia adalah permata penghias hatiku selamanya. Masa muda yang begitu penuh bahagia, kami telah merencanakan tanggal pernikahan juga. Pekerjaan menjadi begitu banyak, namun lelah kerja langsung menguap saat melihat senyum bahagianya.
Orin nama permata hati yang adalah segalanya bagiku. Perempuan itu selalu bersinar dengan caranya sendiri dalam sepelik apa masalah hidup yang kami alami. Namun, beberapa bulan terakhir, ada yang berubah. Orin semakin sering absen dari kehidupan mereka, jarang menjawab pesan, dan selalu punya alasan untuk menunda pertemuan. Awalnya aku memaklumi karena ia sedang sibuk pembukaan cabang baru usaha keluarganya.
Setelah sekian lama menanti malam itu, ia meminta bertemu di kedai es krim kesukaannya. Hatiku berdegup kencang, ada harapan dan juga kecemasan. Ketika Orin tiba, ada sesuatu dalam sorot matanya yang tak pernah kulihat sebelumnya--- terasa begitu dingin dan jauh.
"Ada yang ingin aku bicarakan, Mas," suara Orin bergetar, namun tegas. Â Kutaruh gawai di meja dan menegakkan tubuh, berusaha tenangkan hati yang mulai penuh prasangka.
"Apa, Dek?" Kamu mau pesen Es Krim dulu kah, sebelum kita ngobrol? Tanyaku lembut, walau hati ini  sudah diliputi kecemasan.
Ia menggelengkan kepalanya, lalu duduk dengan gestur penuh kegusaran. Orin menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Aku pikir... kita harus selesai sampai di sini."
Duniaku seolah runtuh dalam sekejap. Kutatap mata Orin lekat-lekat, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Kenapa?" tanyaku dengan suara parau.
Orin menunduk, menghindari tatapanku. "Aku butuh kepastian, Mas. Dengan suara yang pelan dan bibir yang bergetar.
"Aku kurang apa Dek?" Aku kerja keras dan kamu tahu itu!" Kita sudah tunagan dan hari pernikahan semua orang sudah tahu Dek? Tak disangka aku lepas kendali dan berkata dengan begitu keras. Semua pengunjung sontak melihat keributan yang kami buat.
"Justru itu masalahnya Mas!" Jawab Orin tak kalah keras dari suaraku.