Mohon tunggu...
Elga Lutfiana Wanti
Elga Lutfiana Wanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Puisi, Review, Cerpen dan Konten lainnya

Perempuan yang selalu dalam naungan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesalahan yang Sama

27 Maret 2023   13:22 Diperbarui: 27 Maret 2023   13:37 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mentari terasa terik dikepala, Beni mengayuh sepedanya seraya mengelap keringat yang mengucur di keningnya. Akankah ia terlambat sampai di rumah, itu yang terus ia pikirkan. Sial untuknya, tiba-tiba ban sepedanya pecah. Jadi ia harus mendorongnya sampai ke rumah karena ia tak memegang uang untuk mengganti ban dalam sepedanya.

Sesampainya ia di rumah, makian yang sampai ditelinganya. Betapa lama ia sampai ke rumah, betapa lama ia membawa makanan untuk kakaknya, betapa dingin makanan yang ia bawa. Ia hanya diam seraya menyiapkan makanan untuk kakaknya makan, yang bersangkutan justru sedang memilin-milin rambutnya menanti makanan datang.

Ibunya marah lagi, lagi dan lagi. Tapi Beni tetap diam. Bersabar seperti kata orang disekitarnya. Beni menelan pahit-pahit kenyataan bahwa ia bukan anak yang diinginkan, yang selalu ia dengar ketika malam saat Ibunya pulang dalam keadaan mabuk.

"Karena kau bocah sialan, aku tak bisa hidup enak di mansion tua bangka itu, kalau kau tidak lahir aku dan Reni akan hidup bak putri. Ah sialan, susah aku merangkak ketempat yang lebih tinggi, Nenek kau yang sialan itu jangankan mengurusku ia membiarkan aku tanpa menanyakan kabar di rumah terkutuk itu. Harapanku musnah saat kau ada di perutku, bocah sialan harusnya kau mati saja"

Bak dendangan lagu, kalimat makian itu terus didengarnya. Hari-hari ia dedikasikan hidupnya untuk terlihat sedikit berguna untuk Ibunya dan kakak yang begitu dicintai oleh Ibunya. Tapi ia tak mendapatkan apapun selain makian, makian, dan makian.

Beni ia tumbuh menjadi anak yang lebih banyak diam, ia masih sama seperti dulu terus berusaha terlihat berguna walaupun segala usahanya takkan pernah cukup dimata Ibu yang begitu ia kasihi. Sampai suatu saat, Ibunya menemukan tas yang berisi uang dengan jumlah yang cukup untuk menghidupi mereka bertiga ditempat yang lebih baik.

Betapa bahagia Ibunya, terpikirkan ia akan membelikan Putri kesayangannya baju yang cantik dan makanan yang enak. Tapi ternyata kebahagiaan itu singkat saja datangnya. Putri yang begitu ia cintai membawa lari semua uang yang ia temukan, ia tak bisa berkata-kata dan segera menyuruh Beni untuk mencari Putri kesayangannya. 

Hari berganti minggu, Reni tak kunjung ditemukan. Jangankan jejaknya, kabar ia pergi kemana pun tiada seorang pun yang tau. Reni seperti embun yang menguap begitu saja. Ibunya, tak sanggup menerima kenyataan bahwa Putri tersayangnya lari meninggalkan ia dengan Putra yang tak ia harapkan untuk ada.

Minggu berganti bulan, Ibunya dilanda kegundahan yang begitu berat. Ia menolak makan dan minum. Beni seperti biasa tetap melayaninya, walau intensitas makian Ibunya makin tinggi, makin sering, dan makin menohok. Ia tetap diam, karena dalam pikirannya begitulah hidup yang harus ia jalani.

Pada suatu petang, ia dapatkan kabar bahwa Reni, kakaknya mati overdosis disebuah hotel kecil di kota yang jauh dari kampung halamannya. Mendapatkan kabar demikian, bertambah hancur pula hati sang Ibu. Ia menangis dan menangis dan menangis, menyalahkan semua nasib buruk pada Beni. Beni ia hanya diam dan bergerak seperti biasa, melayani dan menjalankan semua keinginan Ibunya. Sampai suatu saat, betapa kagetnya melihat Ibunya diam tak bergerak dengan botol pemutih yang menggelinding di dekat Ibunya.

Semua sudah berakhir, pikir Beni dalam nelangsa. Beni menatap kosong pada langit, langit rumahnya seraya berkata "Sekarang aku harus apa?"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun