Entah mengapa Kara sering uring-uringan menjelang resital biolanya yang pertama. Setiap hari dia memainkan lagu yang sama, namun selalu terhenti di baris keempat dari repertoire. Kejengkelan dan omelan meluncur dari bibirnya.
     Hari itu Kara latihan menggesek biolanya setengah hati. Dia terombang-ambing dalam keputusasaan. Di luar hujan mengguyur deras. Alunan lembut biola memecah sepi. Hampir dua jam dia memainkan melodi dalam otaknya. Namun lagi-lagi selalu terhenti. Dia membolak-balik lembaran notasi musik di depannya. Kesal setengah mati. Bibirnya komat-kamit menggerutu.
     Mama melongokkan kepala dari arah pintu. Sejak tadi Beliau mengawasinya.
     "Bagaimana sayang?" Tanya Mama lembut. Takut Kara meledak.
     Kara mendesah lelah. Dia melirik putus asa ke arah Mama.
     "Gagal terus, Ma. Kayaknya ada yang kurang, tapi nggak tahu apa."
     Mama melangkah pelan ke arahnya. Lalu mengusap lembut rambut putrinya.
     "Sudah, istirahat saja dulu sayang." Bujuknya lembut. Tiba-tiba melintas sebuah ide di kepala Mama. Memohon bantuan Tedi, putra sahabatnya sejak SMA yang telah tinggal di rumahnya 4 bulan adalah ide cemerlang yang perlu dicoba. Dua bulan lalu, Tedi telah mengikuti orkestra ke luar negeri setelah Gala Premier. Bukan ide yang buruk, namun sedikit mengkhawatirkan. Kara pastinya menolak mentah-mentah. Sikapnya selalu ketus dengan anak itu.
                                                             * * * * *
     "Hai, perlu dibantu nggak?" Tanya seorang cowok jangkung sambil melongokkan kepala dari balik pintu. Persis kebiasaan Mama Kara.
     Kara mendengus sebal. "Makhluk pembawa virus bad-mood muncul" Rutuknya kesal dalam hati.
     "Tante bilang kamu ada resital biola bulan depan, ya?" Cowok itu menghampirinya. Kara berbalik memunggunginya. Dia menggesek biola. Pura-pura cuek meski hatinya ketar-ketir. Terdengar nada fals. Dia salah memainkan nada.
     Cowok itu telah berdiri tepat di belakangnya. Aroma aftershave tercium.
     "Etude in E-Major. Khas Chopin. Kamu memainkan sol, seharusnya nada ..."
     "Mengapa dia selalu memanggil "kamu" padaku?Itu kan bukan panggilan lazim untuk orang yang asing satu sama lain. Panggilan itu hanya diperuntukkan pada orang dekat."Keluh Kara.
     "Ngapain loe di sini?" Potong Kara ketus.
     "Cuma mampir. Menjenguk Tante. Kangen banget dengan Beliau. Terakhir kali kami ketemu dua bulan lalu di Gala Premier. Tante bilang, kamu sibuk berlatih biola. Aku kangen kamu. Kamu nggak kangen aku juga?"
      Bibir Kara mencibir. Tedi sering melancarkan kata-kata bermakna ambigu. Entah itu sekedar iseng atau murni perasaannya. Kara belajar tak mempercayai setiap kata Tedi yang menjurus ke arah ungkapan sayang. Tedi tergelak menatap ekspresinya.
      "Gala Premier." Bisik hati Kara sakit hati. Saat itu dia kalah dan hanya meraih juara dua. Sedangkan cowok di dekatnya ini yang menang. Tedi Sebastian, putra sahabat Mama yang jenius biola dan piano. Sejak dulu Kara sering memenangi lomba biola dan orang-orang mengaguminya. Namun mendadak setahun yang lalu, datang Tedi merusak segalanya. Dia empat tahun di atas Kara. Cowok itu tidak perlu bersusah payah menyabet juara dan membuat Kara tampak seperti pecundang sejati.
      Tedi jago memainkan biola padahal dari luar dia terlihat santai dan urakan. Sama sekali tidak mencitrakan putra seorang konduktor terkenal dan pianis internasional. Berbeda dengan cowok-cowok pesaing Kara yang rapi dan sopan. Tedi lebih mirip berandal. Padahal kemampuan musiknya luar biasa dan mampu menghipnotis siapa pun.
      "Kara, jangan terlalu mementingkan teknik. Kamu memperlakukan musik Chopin seperti Sympony Beethoven. Chopin lebih menyelaraskan nada-nada sedangkan Beethoven ..."
       Kara menatapnya galak. Matanya melotot dan bibirnya cemberut. "Gue nggak perlu kritik loe. Kalau nggak ada urusan di sini, loe pergi aja."
       Wajah Tedi bingung. "Tapi aku bukan mengkritik kamu. Tak mungkin aku bermaksud menyakitimu. Cuma mau mem .."
       Kara menjulurkan tongkat biolanya. "Nggak perlu." Balasnya sinis. Lalu berlalu meninggalkan Tedi yang mendesah putus asa.
      "Kara, Kara. Andai kamu tahu tujuanku yang sebenarnya. Apa artinya kamu bagiku." Desis Tedi sedih bercampur kecewa.
                                                                    * * * * *
      Untuk kesekian kalinya, Madam Carrie memperingatkan Kara. Dia selalu mengulang kesalahan yang sama sehingga Beliau hampir kehilangan kesabaran. Percuma mengomel-omel karena Kara seolah tidak memahami sentuhan musik yang diinginkannya seutuhnya. Akhirnya Madam Carrie meminta Kara berlatih sendirian di ruang ganti sementara Beliau memimpin gladi kotor di panggung menjelang resital biola Kara lima hari lagi dengan orkestra pendukung.
      Di ruang latihan, Kara mencoba memainkan biolanya berulang-ulang. Tanpa memedulikan peluh yang bercucuran di keningnya. Setengah frustasi setengah kesal, akhirnya dia menyerah. Kara menghamburkan notasi musiknya. Dia meneteskan air mata. Sementara Nora, sahabat Kara dan Tedi mengawasi dari balik pintu.
      "Jangan masuk, Kak Ted." Cegah Nora, menahan lengan Tedi.
      "Loe lihat sendiri, kan. Si bodoh itu mengesalkan. Dia harus dikerasin."
      Nora tersenyum penuh arti. Tedi menatapnya penuh tanda tanya.
      "Justru dia paling nggak ingin dilihat kakak saat ini. Harga dirinya tinggi."
      "Memangnya kenapa?"
       Nora mengulum senyum misterius."Tebak saja sendiri. Gue tahu kakak cemas. Tapi tolong beri dia waktu."
       Tedi menghela napas berat. Sekali lagi dia menatap sosok Kara yang tenggelam dalam sedih. Cewek itu sedang mengalami krisis percaya diri. Akhir-akhir ini permainan biolanya kehilangan nuansa jiwa, tak seindah dulu. Tekniknya makin luar biasa, namun musiknya mengalun hampa.
       Empat hari Kara mengurung diri di kamar. Berkali-kali dia berlatih piano dari pagi sampai malam. Alunan biolanya terhenti bila dia lapar atau capek. Dalam sehari, hampir dua belas jam dia memainkan biola hingga jemarinya lecet. Mama sudah berusaha membujuk, namun Kara terlalu keras kepala. Tedi membiarkannya sampai batas kesabaran yang mampu ditahannya.
       Hari keempat, Tedi menerobos kamarnya. Awalnya Kara mengamuk. Namun suara frustasi Tedi mengacaukan hatinya. Tatapannya tajam dan dalam. Mendadak Kara merasakan perasaan aneh menyusupi hatinya.
       "Kara, kumohon. Ijinkan aku memainkan biola. Aku ingin melagukan suatu cerita. Kenangan masa laluku. Aku tak mampu berdiam diri melihat kamu menyiksa diri."
       Dia bergegas ke luar. Dan kembali sambil menggenggam biola keemasan dari kayu mahoni. "Stradivari!" Pekik hati Kara menahan napas.
       Cowok itu lalu menggesek biolanya. Alunan melodi demi melodi menggema. Melantunkan musik yang menyayat hati. Bulat dan jernih. Seakan ada gelombang keputusasaan menerpa relung Kara. Mendadak Kara menyadari musik itu yang terasa familier di telinganya. Itu kan musik yang paling dicintainya. Setetes air mata mengalir di pipinya. Sesekali Tedi menatapnya. Bola matanya bersinar dan memberinya senyuman.
       Dengan enggan, Kara berpura-pura acuh. Musik Tedi membuat hatinya meleleh. Menari-nari dalam pesonanya. Kara berubah jengkel. Andai dia bermain seindah Tedi. Nada-nada biola Tedi seolah memancarkan magnet dan jiwa yang kuat.
       Lamunannya tersentak saat Tedi selesai memainkan biola. Cowok itu telah berdiri di depannya. Dia terpaksa mendongak. Tedi lima belas senti lebih tinggi.
       "Liesleid, lagu favoritku. Lagu favorit kamu juga. Aku menyukainya karena lagu ini mirip dengan perasaanku 3 tahun lalu." Kara tertegun.
      "Ada sebuah cerita. Seseorang pernah frustasi karena orang selalu membandingkannya dengan ortunya. Mereka menganggap dia terkenal karena nama ortunya. Susah payah dia berusaha membuktikan kalau mereka salah. Siang malam dia berlatih mengasah bakatnya. Dia sampai mengorbankan semuanya. Tapi sekeras apa pun dia berusaha, orang tetap menyepelekannya. Tak ada yang menghargai dia sebagai dirinya, mereka selalu memandang nama ortunya yang terkenal."
      Tedi menarik napas. Kara sedikit mundur. Wajahnya bingung campur ingin tahu. Tedi tersenyum manis, membuat sekujur tubuh Kara melumer.
      "Ortunya sibuk dan melupakannya. Dia hanyalah anak umur sepuluh tahun yang butuh dukungan. Sepuluh tahun dia terombang-ambing dalam keputusasaan. Bahkan dia kehilangan semangat. Dia sengaja berbuat nakal, mencari gara-gara untuk melampiaskan kemarahannya. Hingga suatu hari datang sahabat ortunya menolongnya. Dia memberi anak itu sebuah rekaman putrinya, seorang cewek sedang memainkan musik yang luar biasa. Anak itu tersentuh mendengarnya. Tiba-tiba dia ingin sekali kembali menyentuh musik. Setiap hari dia selalu menonton video permainan biola anak itu. Kemudian dua tahun dia berusaha keras berlatih. Mengikuti segala macam concour dan gala premier. Dia tidak mau kalah dengan cewek itu. Setelah yakin mampu mempertunjukkan musik yang hebat, dia berjanji akan menemuinya."
      "Dia tidak ingin mempermalukan diri di depan cewek itu. Lalu setahun yang lalu dia akhirnya memiliki keberanian untuk bertemu dengan orang yang telah menyelamatkan hidupnya. Orang yang mengajarinya bahwa musik bukan masalah kalah atau menang, tetapi bagaimana membuat orang merasakannya melalui hati dan menikmatinya. Dia benar-benar sangat berterima kasih padanya. Cewek itu bukan saja berhasil menyembuhkan luka hatinya melalui alunan biolanya, tetapi juga membuatnya merasakan keindahan musik."
       Tiba-tiba saja perasaan Kara berdesir aneh. Dia seakan mengerti siapa sosok dua orang yang diceritakan Tedi. Tahu-tahu airmatanya jatuh. Dia terisak dalam diam. Tedi melangkah perlahan, lalu mendekapnya lembut.
      "Terima kasih, Kara. Kamu sudah menyelamatkan hidup dan musikku. Jangan pernah lupakan perasaanmu memainkan biola saat itu. Kamu yang benar-benar memainkannya dari hati. Kamu yang telah menyentuh hatiku."
       Kara tertegun diam. Barulah dia sadar. Dia telah melupakan perasaannya yang mencintai musik. Setahun ini dia benar-benar terobsesi ingin mengalahkan Tedi hingga melupakan musik yang paling dicintainya. Dia terlalu fokus pada sikap tak mau kalah dan harga dirinya yang terluka akibat kehadiran sosok itu. Tekniknya memang mendekati sempurna, namun kehilangan jiwa. Seketika perasaannya mendadak ringan. Dia tidak sabar ingin memainkan melodi indah yang bernyanyi di hatinya. Sumber deritanya, Tedi, perlahan berganti dengan cahaya, memberinya senyuman paling menawan sepanjang dia mengenalnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI