"Tante bilang kamu ada resital biola bulan depan, ya?" Cowok itu menghampirinya. Kara berbalik memunggunginya. Dia menggesek biola. Pura-pura cuek meski hatinya ketar-ketir. Terdengar nada fals. Dia salah memainkan nada.
     Cowok itu telah berdiri tepat di belakangnya. Aroma aftershave tercium.
     "Etude in E-Major. Khas Chopin. Kamu memainkan sol, seharusnya nada ..."
     "Mengapa dia selalu memanggil "kamu" padaku?Itu kan bukan panggilan lazim untuk orang yang asing satu sama lain. Panggilan itu hanya diperuntukkan pada orang dekat."Keluh Kara.
     "Ngapain loe di sini?" Potong Kara ketus.
     "Cuma mampir. Menjenguk Tante. Kangen banget dengan Beliau. Terakhir kali kami ketemu dua bulan lalu di Gala Premier. Tante bilang, kamu sibuk berlatih biola. Aku kangen kamu. Kamu nggak kangen aku juga?"
      Bibir Kara mencibir. Tedi sering melancarkan kata-kata bermakna ambigu. Entah itu sekedar iseng atau murni perasaannya. Kara belajar tak mempercayai setiap kata Tedi yang menjurus ke arah ungkapan sayang. Tedi tergelak menatap ekspresinya.
      "Gala Premier." Bisik hati Kara sakit hati. Saat itu dia kalah dan hanya meraih juara dua. Sedangkan cowok di dekatnya ini yang menang. Tedi Sebastian, putra sahabat Mama yang jenius biola dan piano. Sejak dulu Kara sering memenangi lomba biola dan orang-orang mengaguminya. Namun mendadak setahun yang lalu, datang Tedi merusak segalanya. Dia empat tahun di atas Kara. Cowok itu tidak perlu bersusah payah menyabet juara dan membuat Kara tampak seperti pecundang sejati.
      Tedi jago memainkan biola padahal dari luar dia terlihat santai dan urakan. Sama sekali tidak mencitrakan putra seorang konduktor terkenal dan pianis internasional. Berbeda dengan cowok-cowok pesaing Kara yang rapi dan sopan. Tedi lebih mirip berandal. Padahal kemampuan musiknya luar biasa dan mampu menghipnotis siapa pun.
      "Kara, jangan terlalu mementingkan teknik. Kamu memperlakukan musik Chopin seperti Sympony Beethoven. Chopin lebih menyelaraskan nada-nada sedangkan Beethoven ..."
       Kara menatapnya galak. Matanya melotot dan bibirnya cemberut. "Gue nggak perlu kritik loe. Kalau nggak ada urusan di sini, loe pergi aja."