Mohon tunggu...
Elfryanty Novita
Elfryanty Novita Mohon Tunggu... Pegawai BPS Kota Sorong

Suka dengan segala hal berbau analisis data, volunteering, Trainings, Projects, Reading Economics News. Di waktu luang suka mengecek kondisi ekonomi dan pasar saham. Penggemar K-Drama dan slogan hidup adalah" Be good for yoursef before you treat others nicely"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cowok Penunggu Bus di Halte

5 Mei 2025   21:18 Diperbarui: 5 Mei 2025   21:18 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Aku cepat-cepat berlari ke halte. Ampun deh. Hari ini aku telat bangun. Semalam Mbak Eka begadang menyelesaikan dekorasi buat acara kesenian di kampusnya. Dia ngotot memaksaku dengan galak untuk membantunya. Tidak perlu lama, aku terpaksa mengiyakan. Dia mengancam dengan manis, akan memberitahu Bunda kalau aku sedang jatuh cinta pada Evan. Kalau Bunda sampai tahu, tamatlah nasibku. Sedari dulu Beliau berkali-kali mengultimatum agar aku nggak boleh berpacaran sampai lulus SMA.

           Pengorbananku tidak sia-sia. Dari kejauhan, sosok Evan tampak bersinar sementara sekelilingnya seakan meredup. Aku mempercepat langkah. Napasku makin memburu. Berpura-pura, aku berdiri di sebelahnya sambil menenangkan napas yang terengah-engah. Astaga. Jantungku malah berdentum makin kencang. Susah payah aku menahan iramanya yang cepat. Hampir aku tak mampu menahan diri.

            Dia melirikku sekilas, tersenyum ramah -rasanya saat itu jantungku seakan meledak saking tak percaya. Aku berusaha membalas senyumnya. Namun sepertinya gagal. Yang terpancar di wajahku lebih mirip cengiran yang menyedihkan.

            Dia kembali menatap lurus ke depan. Aku mengutuki diri. Ya ampun. Bodohnya aku!Padahal tadi kesempatan emas mengobrol dengannya.

            Setiap hari kami selalu berpapasan di halte. Awalnya suatu pagi aku bangun kesiangan. Gara-gara Ella, sahabatku yang baru berpacaran dengan cowok pebasket di sekolah kami. Sudah sejak kelas 1 SMA dia menyukai cowok itu. Setahun kemudian, perasaannya ternyata berbalas dengan ungkapan dari cowok itu. Malamnya Ella menelponku penuh semangat. Akhirnya kami mengobrol hingga larut malam. Padahal besok paginya pelajaran Matematika milik Pak Yoga, si Killer Man. Aku benar-benar panik. Turun dari angkot, aku berlari seperti kesetanan ke arah halte. Hingga menabrak seorang cowok jangkung yang berdiri sambil membaca buku.

             Aku dibutakan oleh ketakutan. Sambil menundukkan kepala, aku berkali-kali meminta maaf. Cowok itu terdiam cukup lama.

            "Kamu nggak usah minta maaf. Nggak pa-pa, kan?"

            Oh My God!Suara basnya terdengar lembut menenangkan. Saat beradu tatap, sekujur tubuhku lemas. Gila, dia luar biasa tampan. Wajahnya putih bersih. Rahangnya tampak tegas dan memesona. Sinar matanya tajam. Kesan cool terpancar.

            Mati-matian aku menguasai diri. Napasku sesak terpukau pesonanya. Dia mengernyitkan kening.

           "Nggak usah panik. Masih keburu kok."

            Dia tersenyum tipis. Benar-benar tipis. Hanya mengguratkan sedikit lekukan pada bibirnya. Namun senyum itu mampu menghapus kepanikanku dalam sekejap.

            Entah mengapa sejak itu kami sering bertemu di halte yang sama. Aku bahkan sampai hapal jam kepergiannya juga kebiasaannya saat menunggu di halte. Namanya baru kuketahui kira-kira tiga minggu sejak itu. Saat itu dia mengobrol dengan seorang cowok yang lebih jangkung darinya. Cowok itu tak kalah tampan, namun wajahnya memancarkan kesan seram dengan rambut gondrong. Tingkahnya cuek dan santai. Mirip preman di Pasar Senen. Cowok itu memanggil nama "Evan".

            Meski hampir tiap hari kami naik bis yang sama, namun sepertinya Evan tak menyadari sosokku. Dia hanya berbasa-basi tanpa makna. Senyum pun tak lebih dari 90 derajat melintang.

             Kadang aku jengkel. Ingin kuteriakkan padanya agar dia sadar. Setiap hari aku terus berdoa, mengharapkan suatu hari obrolan kami lebih akrab, bukan sekedar teman sesama penunggu bus.

                                                                                                                                               * * * * *

              Pagi itu aku berlari tergesa-gesa hingga menubruk lengan beberapa orang. Aku cepat-cepat minta maaf, namun tak sempat berbasa-basi. Orang-orang lalu lalang di depanku. Sambil celingak-celinguk, aku menyapu sekelilingku. Mataku sibuk menjelajahi setiap manusia. Namun hanya kekecewaan yang kuhembuskan. Sosok Evan belum tampak. Kuputuskan untuk menantinya lebih lama. Bahkan melewatkan bus yang datang. Namun sosok yang kurindukan masih belum muncul. Mengapa dia belum juga datang?Ini sudah sepuluh menit berlalu.

               Aku berputar-putar gelisah. Kumainkan jemari-jemariku sambil berharap sosoknya memberiku kejutan. Satu menit, dua menit, tiga menit ...  Kecemasan menghinggapiku. Astaga...dia kemana sih?

               Aku benar-benar bingung. Ini di luar kebiasaannya. Kuhela napas. Terasa berat dan waktu berjalan lambat. Aku menghempaskan diri di kursi halte. Komat-kamit aku membaca doa dalam hati. Memikirkan tak menemukan sosok Evan di tengah lautan manusia, aku dilanda kepanikan.

               Bayangan buruk terus merasuki pikiranku. Aku berusaha mengusirnya. Namun menit demi menit berlalu tanpa kepastian. Aku bangkit berdiri dalam kecewa. Ini ketiga kalinya aku kehilangan kebersamaan dengan Evan di halte.

              Tanpa membuang waktu, aku segera melompat naik pada bus yang tiba. Aku bisa terlambat ke sekolah bila terus menantinya tanpa kepastian. Orang-orang berdesakan dalam bus. Aku melamun diam. Tenggelam membayangkan hari-hariku bersama Evan. Dia pernah meminjamkan sapu tangannya saat menatap peluh yang bercucuran di wajahku. Dia pernah memberiku kursi untuk duduk padahal kursi itu ditinggalkan orang yang duduk di dekatnya. Dia pernah mempersilakanku naik ke bus lebih dulu.

              Tanpa sadar aku menyunggingkan senyum berkali-kali.

             "Lagi bahagia, ya?"

              Hampir saja aku goyah mendengar suara yang teramat kurindukan. Dia tersenyum ramah memandangku. Seolah ada sengatan listrik menjalar di sekujur tubuhku.

              Aku tersenyum kaku. Rasanya canggung. Andai dia tahu bahwa dialah yang memberiku kebahagiaan itu.

              Setelah itu hening. Komunikasi itu terputus. Bus melaju melewati sebuah jalan besar. Aku melirik Evan. Dia tak bergeming menatap pemandangan di balik jendela.

             "Kok nggak turun di jalan yang biasanya?"

              Seketika itu juga aku menyesal melontarkan pertanyaan itu. Dia pasti heran. Mengapa aku tahu?Pikirannya pasti dipenuhi prasangka.

              Kulihat sesaat wajahnya tampak heran. Namun dia seakan tidak terganggu dengan pertanyaan itu.

             "Tadi telat bangun. Nggak sempat mampir ke rumah teman. Ntar terlambat ke sekolah. Sekolah gue ketat soal peraturan, sih."

              Tanpa terduga, untuk pertama kalinya kami akhirnya mengobrol lama. Hingga hampir saja aku melewatkan sekolahku. Untunglah dia cepat menghentikan deru bus.

              Mungkin Tuhan telah mengatur pertemuan kami menjadi lebih dari sekadar teman sesama penunggu bus. Sejak hari itu, kami mengobrol lebih akrab, bertukar telepon dan email, sering kontak melalui email. Bahkan sering sms-an sekadar menanyakan kabar.

              Aku makin mencintai halte yang menjadi benang merah di antara kami. Setiap hari aku selalu berdebar menantinya. Bahkan rajin menulis tentang dia dalam diariku. Mbak Eka pernah memergokiku terus-terusan tersenyum sumringah. Dia juga bisa menebak isi diariku. Setiap hari dia selalu menggodaku. Katanya aku sakit cinta. Bunda sempat mencium sesuatu yang ganjil pada diriku. Gara-gara aku makin suka melamun, sering mengurung diri di kamar -- padahal dulu aku hobi nongkrong dengan Ella atau jalan-jalan, belajar memasak- padahal dulu aku benci dapur. Susah payah aku menangkis kecurigaan itu. Aku terus berdalih.

             Saat Ella menodongku -dia menanyakan siapa gerangan seseorang yang membuatku jatuh cinta, aku terpaksa membongkar rahasia. Dia sangat bahagia bahkan memaksaku mempertemukannya dengan Evan.

             Awalnya aku bisa mengelak, namun setiap hari dia tak pernah putus asa membujukku. Akhirnya aku menyerah. Kami pun menyusun rencana. Saat bertemu Evan di dalam bus, dia sama terpesonanya seperti aku dulu. Kemudian Evan mengenalkan seorang cowok yang asing, yang jujur, dia juga tidak kalah tampannya (Aku sempat menolak komentar Ella yang memuji cowok asing itu).

             Anehnya posisi kami terbalik. Aku justru dibiarkan bersama cowok asing itu. Sementara Ella asyik mengobrol dengan Evan. Astaga!Aku mendelik kesal. Apa ini cuma perasaanku?Evan seperti sengaja membiarkanku berduaan dengan temannya. Setengah mati aku menahan cemburu.

            "Evan sering cerita tentang kamu." Cowok itu mengawali pembicaraan. Dia terlihat grogi. Aku menatapnya heran.

            "Oh ya?"Aku menjawab enggan. Lalu membisu dalam hening.

            "Tidak selamanya langit mendung. Di balik awan tentunya ada pelangi yang melawan badai. Garis-garis warnanya menyapukan kilauan cahaya."

             Aku menoleh kaget. Setengah tak percaya aku memelototinya. Dia tahu puisi "Pelangi"?Pelan-pelan kami mulai berdiskusi soal puisi dan sastra. Ternyata dia kuliah di IKJ jurusan sastra dan mengenal Evan sejak kecil. Itu berarti dia mungkin bisa mendekatkan aku dengan Evan. Mau tak mau aku pun bersikap ramah.

             Hari-hari berikutnya, kami sering bertemu di halte. Aku terpaksa menanggapi obrolan Kak Fandy, teman Evan. Sebenarnya aku ingin lebih akrab dengan Evan, namun tak apa karena perlahan Evan terlihat nyaman denganku. Kesan coolnya runtuh. Dia sering tertawa lepas, bercanda bahkan iseng menggodaku.

             Tiga bulan berlalu, aku makin menantikan pertemuan dengan Evan. Dia terlihat begitu bercahaya dimataku. Aku selalu bahagia melewati waktu bersamanya. Sayangnya Kak Fandy juga tak pernah absen hadir. Meskipun sering mengomelinya dalam hati, aku bersykur dengan kehadirannya Evan makin berani mencurahkan hari-harinya padaku. Intensitas pertemuan kami tak hanya sebatas di halte. Kami bahkan pernah jalan-jalan bersama-meskipun Kak Fandy juga ikut, seakan dia bonus sepaket dengan Evan. Kami juga menonton film komedi, menghadiri galeri lukisan di Gedung IKJ --Kak Fandy yang mengundang kami, aku pun menahan jengkel karena sepanjang hari dia selalu membayangi kebersamaan kami.

              Genap empat bulan, aku memutuskan akan mengungkapkan perasaan pada Evan. Ella selalu menyemangatiku tanpa henti. Dia begitu yakin kalau Evan menyukaiku. Aku mati-matian membantahnya. Namun Ella terus menggoyahkanku. Dia merasakan cara bicara Evan, sinar matanya, gerak-geriknya juga bahasa tubuhnya, menyiratkan 99,99 % kalau Evan akan membalas perasaanku. Apalagi dua hari lagi momen hari Valentine.

              Berbekal semangat dan insting Ella, aku memberanikan diri menelepon Evan. Mengajaknya bertemu di kafe tempat kami biasa mengobrol. Evan menyetujui ajakanku. Kebetulan dia juga ingin membahas sesuatu denganku. Perasaanku dialiri kehangatan. Mungkinkah dia juga ingin mengungkapkan perasaannya?

              Dengan hati berbunga-bunga, aku memasak kue coklat untuk Evan. Dia sangat menyukai cokelat. Aku tak sabar menantikan reaksinya atas pernyataan cintaku nanti.

              Aku berdebar-debar menahan gelombang rasa gembira yang melandaku. Aku sudah berdandan lebih dari biasanya untuk memberinya kejutan. Aku juga telah membungkus kue cokelat itu dan menghiasinya dengan warna-warna cerah.

              Namun kejutan besar justru menantiku. Seketika harapan terhempas dan hatiku menangis hancur. Ternyata dia hanya ingin mengatakan bahwa Fandy- cowok yang selalu hadir diantara kami suka padaku sejak pertemuan pertama. Dialah cowok berambut gondrong yang memiliki sorot mata menyeramkan. Aku tak mengenali sosoknya karena dia sudah merombak total dirinya setelah pertemuan pertama itu. Aku merasakan pikiranku makin kosong saat Evan mengenalkan cewek cantik di sebelahnya sebagai pacarnya karena dia menganggapku teman baiknya.

               Seketika itu juga aku ingin cepat-cepat pergi dan menumpahkan air mata. Sampai-sampai tanpa sadar aku meremas-remas kue coklat itu dalam genggamanku. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Aku benar-benar patah hati. Hatiku terasa hampa. Aku pun mengutuki kebodohanku. Kisah kami hanya sebatas sesama penunggu bus di halte.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun