Awalnya aku bisa mengelak, namun setiap hari dia tak pernah putus asa membujukku. Akhirnya aku menyerah. Kami pun menyusun rencana. Saat bertemu Evan di dalam bus, dia sama terpesonanya seperti aku dulu. Kemudian Evan mengenalkan seorang cowok yang asing, yang jujur, dia juga tidak kalah tampannya (Aku sempat menolak komentar Ella yang memuji cowok asing itu).
       Anehnya posisi kami terbalik. Aku justru dibiarkan bersama cowok asing itu. Sementara Ella asyik mengobrol dengan Evan. Astaga!Aku mendelik kesal. Apa ini cuma perasaanku?Evan seperti sengaja membiarkanku berduaan dengan temannya. Setengah mati aku menahan cemburu.
      "Evan sering cerita tentang kamu." Cowok itu mengawali pembicaraan. Dia terlihat grogi. Aku menatapnya heran.
      "Oh ya?"Aku menjawab enggan. Lalu membisu dalam hening.
      "Tidak selamanya langit mendung. Di balik awan tentunya ada pelangi yang melawan badai. Garis-garis warnanya menyapukan kilauan cahaya."
       Aku menoleh kaget. Setengah tak percaya aku memelototinya. Dia tahu puisi "Pelangi"?Pelan-pelan kami mulai berdiskusi soal puisi dan sastra. Ternyata dia kuliah di IKJ jurusan sastra dan mengenal Evan sejak kecil. Itu berarti dia mungkin bisa mendekatkan aku dengan Evan. Mau tak mau aku pun bersikap ramah.
       Hari-hari berikutnya, kami sering bertemu di halte. Aku terpaksa menanggapi obrolan Kak Fandy, teman Evan. Sebenarnya aku ingin lebih akrab dengan Evan, namun tak apa karena perlahan Evan terlihat nyaman denganku. Kesan coolnya runtuh. Dia sering tertawa lepas, bercanda bahkan iseng menggodaku.
       Tiga bulan berlalu, aku makin menantikan pertemuan dengan Evan. Dia terlihat begitu bercahaya dimataku. Aku selalu bahagia melewati waktu bersamanya. Sayangnya Kak Fandy juga tak pernah absen hadir. Meskipun sering mengomelinya dalam hati, aku bersykur dengan kehadirannya Evan makin berani mencurahkan hari-harinya padaku. Intensitas pertemuan kami tak hanya sebatas di halte. Kami bahkan pernah jalan-jalan bersama-meskipun Kak Fandy juga ikut, seakan dia bonus sepaket dengan Evan. Kami juga menonton film komedi, menghadiri galeri lukisan di Gedung IKJ --Kak Fandy yang mengundang kami, aku pun menahan jengkel karena sepanjang hari dia selalu membayangi kebersamaan kami.
       Genap empat bulan, aku memutuskan akan mengungkapkan perasaan pada Evan. Ella selalu menyemangatiku tanpa henti. Dia begitu yakin kalau Evan menyukaiku. Aku mati-matian membantahnya. Namun Ella terus menggoyahkanku. Dia merasakan cara bicara Evan, sinar matanya, gerak-geriknya juga bahasa tubuhnya, menyiratkan 99,99 % kalau Evan akan membalas perasaanku. Apalagi dua hari lagi momen hari Valentine.
       Berbekal semangat dan insting Ella, aku memberanikan diri menelepon Evan. Mengajaknya bertemu di kafe tempat kami biasa mengobrol. Evan menyetujui ajakanku. Kebetulan dia juga ingin membahas sesuatu denganku. Perasaanku dialiri kehangatan. Mungkinkah dia juga ingin mengungkapkan perasaannya?
       Dengan hati berbunga-bunga, aku memasak kue coklat untuk Evan. Dia sangat menyukai cokelat. Aku tak sabar menantikan reaksinya atas pernyataan cintaku nanti.