Entah mengapa sejak itu kami sering bertemu di halte yang sama. Aku bahkan sampai hapal jam kepergiannya juga kebiasaannya saat menunggu di halte. Namanya baru kuketahui kira-kira tiga minggu sejak itu. Saat itu dia mengobrol dengan seorang cowok yang lebih jangkung darinya. Cowok itu tak kalah tampan, namun wajahnya memancarkan kesan seram dengan rambut gondrong. Tingkahnya cuek dan santai. Mirip preman di Pasar Senen. Cowok itu memanggil nama "Evan".
      Meski hampir tiap hari kami naik bis yang sama, namun sepertinya Evan tak menyadari sosokku. Dia hanya berbasa-basi tanpa makna. Senyum pun tak lebih dari 90 derajat melintang.
       Kadang aku jengkel. Ingin kuteriakkan padanya agar dia sadar. Setiap hari aku terus berdoa, mengharapkan suatu hari obrolan kami lebih akrab, bukan sekedar teman sesama penunggu bus.
                                                                        * * * * *
       Pagi itu aku berlari tergesa-gesa hingga menubruk lengan beberapa orang. Aku cepat-cepat minta maaf, namun tak sempat berbasa-basi. Orang-orang lalu lalang di depanku. Sambil celingak-celinguk, aku menyapu sekelilingku. Mataku sibuk menjelajahi setiap manusia. Namun hanya kekecewaan yang kuhembuskan. Sosok Evan belum tampak. Kuputuskan untuk menantinya lebih lama. Bahkan melewatkan bus yang datang. Namun sosok yang kurindukan masih belum muncul. Mengapa dia belum juga datang?Ini sudah sepuluh menit berlalu.
        Aku berputar-putar gelisah. Kumainkan jemari-jemariku sambil berharap sosoknya memberiku kejutan. Satu menit, dua menit, tiga menit ...  Kecemasan menghinggapiku. Astaga...dia kemana sih?
        Aku benar-benar bingung. Ini di luar kebiasaannya. Kuhela napas. Terasa berat dan waktu berjalan lambat. Aku menghempaskan diri di kursi halte. Komat-kamit aku membaca doa dalam hati. Memikirkan tak menemukan sosok Evan di tengah lautan manusia, aku dilanda kepanikan.
        Bayangan buruk terus merasuki pikiranku. Aku berusaha mengusirnya. Namun menit demi menit berlalu tanpa kepastian. Aku bangkit berdiri dalam kecewa. Ini ketiga kalinya aku kehilangan kebersamaan dengan Evan di halte.
       Tanpa membuang waktu, aku segera melompat naik pada bus yang tiba. Aku bisa terlambat ke sekolah bila terus menantinya tanpa kepastian. Orang-orang berdesakan dalam bus. Aku melamun diam. Tenggelam membayangkan hari-hariku bersama Evan. Dia pernah meminjamkan sapu tangannya saat menatap peluh yang bercucuran di wajahku. Dia pernah memberiku kursi untuk duduk padahal kursi itu ditinggalkan orang yang duduk di dekatnya. Dia pernah mempersilakanku naik ke bus lebih dulu.
       Tanpa sadar aku menyunggingkan senyum berkali-kali.
       "Lagi bahagia, ya?"