Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Misteri "Watu Kenong"

4 November 2022   04:14 Diperbarui: 4 November 2022   04:25 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: dokumen pribadi

"Semerbak wangi tubuhmu bak aroma kuncup kamboja yang belum tersentuh."

Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku yang gemetar.

"Lanjutkan." Juru kunci cungkup di sekitar pemakaman umum Dukuh Panawijen itu masih memanduku.

"Aku ingin mencintaimu dengan cara tak biasa, cara paling purba."

"Cukup!" Satu tepukan, lembut, mendarat di pundak kiriku. Membuat kedua mataku terbuka lagi.

"Apakah Gusti Kanjeng Ayu Ken Dedes kerap mendatangimu? Apakah beliau pernah mengatakan sesuatu padamu?" Juru kunci cungkup mencecar pertanyaan lagi. Aku mengangguk.

Dan, anggukan itu sontak membawaku terlempar jauh ke masa lalu.

***
Malam itu langit di atas Dukuh Panawijen terang benderang oleh bias cahaya puluhan obor yang menyala. Beberapa lelaki dewasa tampak sibuk di halaman pendapa. Sementara para ibu riweh memasak aneka ragam menu makanan di dapur.

Aku sendiri berdiri mematung di dekat jendela. Menyaksikan kesibukan demi kesibukan yang berlangsung dengan dada berdebar.

Menikah. Ya. Sebentar lagi aku akan menikah. Mengakhiri masa lajangku. Didaupkan dengan lelaki dari tlatah tanah Dinoyo. Sebuah tlatah yang terletak tidak terlalu jauh dari dukuh kelahiranku, Panawijen.

"Masih belum bertukar jarik, Nduk?" Suara Ibu membuatku menoleh. Aku tersenyum. Tipis. Setipis irisan kue 'tetel' buatan para biyada.

"Sebentar lagi utusan pengantin lelaki datang membawa seserahan untukmu, Nduk. Segeralah macak sing ayu." Ibu mengingatkan lagi. Dan itu membuat senyumku sirna seketika.

Ah, Ibu. Andai aku berani menyampaikan satu kalimat ini; aku sama sekali tidak mencintai Jaka Lola, lelaki yang bakal menjadi suamiku itu!

Tapi mana mungkin aku berani melakukannya? Sebagai seorang anak tentu aku wajib berbakti dan menjunjung nama baik orangtua. Terutama nama besar Ayahandaku, Mpu Purwa.

Satu-satunya orang yang bisa kuajak berunding hanyalah Raka. Laki-laki yang mengaku datang dari masa depan itu.

Ya, Raka. 

Hanya dia yang tahu dan paham bagaimana perasaanku saat ini.

"Jadi apa yang harus kulakukan untuk menggagalkan pernikahanku, Ka?" Sembunyi-sembunyi aku menemui Raka yang menyamar sebagai tukang rawat kuda milik Ayah.

"Kau minta pendapatku, apakah itu berarti hatimu mulai terbuka untukku, Des?" Raka menatapku nakal. Wajahku sontak memerah padam.

"Ka, aku serius. Sebentar lagi utusan Jaka Lola datang. Tolong bantu aku." Mataku mulai ngembeng, berkaca-kaca.

"Air matamu adalah pedang yang mampu merajam hatiku menjadi serpihan-serpihan kristal." Raka masih menatapku. Bibirnya yang manis mengulum senyum.

"Waktu terus beranjak, Ka. Jangan menghujaniku dengan syair-syair memabukkan," suaraku tertcekat di tenggorokan. Merupa embusan angin.

"Baiklah. Sini, mendekatlah." Raka meraih pundakku. Lalu dengan tenang membisikkan sesuatu di telingaku.

***
Derap kaki kuda terdengar riuh memasuki halaman pendapa. Ayahanda --- Mpu Purwa dan para tetua sudah berdiri berjajar. Rapi. Siap menyambut iring-iringan tamu yang diutus oleh Jaka Lola.

Sementara aku duduk bersimpuh di atas lantai dingin pendapa, ditemani Ibu. Tak ada senyum menghiasi wajah kami. Juga tak ada sekelumit kata yang terucap. Suasana hening, mamring, dan bisu.

Sampai kemudian Ayahanda membawa salah seorang utusan Jaka Lola masuk menemuiku.

"Ada pesan yang bisa hamba sampaikan kepada junjungan kami?" Utusan itu membungkukkan badan ke arahku.

"Ya. Tolong sampaikan kepada tuanmu. Ken Dedes minta dibuatkan sebuah sendang padusan. Hanya dalam waktu semalam!" Aku berkata tegas.  

Lalu mataku beralih ke arah Ayahanda. 

Kulihat wajah lelaki bijak itu mendadak berubah pucat dan begitu renta.

***
Membuat sendang padusan dalam waktu semalam? Kami --- aku dan Raka, tertawa-tawa. Mana mungkin Jaka Lola mampu melakukannya? Sepintar dan sesakti apa pun dia.

Tapi tunggu dulu! Jangan terburu menganggap enteng kemampuan Jaka Lola. Kiranya lelaki itu adalah lelaki sakti mandraguna. Juga seorang pejuang cinta yang gigih.

Seraya menabuh kenong tiada henti, ia menyanggupi permintaanku. Ia bahkan nyaris menyelesaikan pembangunan sendang padusan dalam kurun waktu satu malam.

Ya. Nyaris!

Kalau saja tidak terbersit kecurangan di dalam pikiranku.

Ayam-ayam kukeluarkan dari kandangnya. Ibu-ibu kuminta menumbuk padi beramai-ramai menggunakan lesung dan alu dengan ketukan bertalu-talu.

"Pagi sudah tiba, Lola! Waktumu telah habiiiiiiis!"

Aku berseru lantang. Penuh kemenangan.

***
Aroma wangi dupa menguar menusuk hidung. Aku masih duduk bersimpuh di atas lantai yang dingin. Tapi kali ini bukan lagi di lantai pendapa milik Mpu Purwa. Melainkan di area cungkup petilasan Ken Dedes yang rindang dan singup.

Beberapa lelaki berumur ikut duduk mengitariku. Mereka terdiam. Hanya memandangiku dengan mata tak berkedip.

"Watu kenong itu ternyata masih ada. Masih tersimpan rapi di sini." Suaraku keluar memecah keheningan. Juru kunci cungkup yang duduk tepat di sebelahku menganggukkan kepala.

Perlahan aku beranjak dari duduk, lalu melangkah ringan menuju sudut halaman cungkup di bagian paling kiri.

Sembari mengelus lembut permukaan batu berbentuk kenong bibirku berbisik lirih.

"Tidakkah engkau sudi memaafkan penolakan dan kecurangan Ken Dedes di masa lalu, duhai, Jaka Lola? Perempuan itu sudah menjalani kutukanmu sedemikian jauh. Sangat jauh. Lihatlah, air matanya hingga kini tak juga kunjung kering."

Aku menengadah.

Langit Panawijen mendadak menjatuhkan bulir-bulir gerimis.

***

Malang, 4 November 2022
Lilik Fatimah Azzahra

Note:
Cerpen ini pernah tayang di Risalah Misteri

Kisah ini disulih dari legenda Sendang Padusan Ken Dedes dan Watu Kenong

Didaupkan= disandingkan
Sendang padusan= kolam mandi
Biyada= ibu-ibu yang membantu perhelatan
Singup= kesan angker
Watu Kenong= Batu berbentuk Kenong (salah satu perangkat gamelan Jawa)

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun