Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

KDRT, Bucin, dan Kesempatan Mencintai Diri Sendiri

17 Oktober 2022   06:15 Diperbarui: 17 Oktober 2022   18:10 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).|Shutterstock via KOMPAS.COM

Akhir-akhir ini jagat maya, baik media online maupun offline getol menayangkan berita menghebohkan yakni pelaporan tindak KDRT yang dialami oleh artis penyanyi dangdut ternama Indonesia, yang dilakukan oleh suaminya sendiri.

Jujur, saya ikut ndredeg setiap kali membaca atau menonton berita yang lagi viral tersebut. Apalagi ketika polisi menyampaikan hasil visum dan hasil penyidikan yang menyatakan bahwa KDRT yang dialami si Mbak artis tidak hanya dilakukan sekali melainkan berulang kali.

Lalu apa hubungannya dengan rasa ndredeg yang saya rasakan? 

Ya. Seolah mengalami deja vu. KDRT menyisakan trauma amat mendalam dalam hidup saya. Cos beberapa tahun silam saya pernah berada di posisi si Mbak artis ini. Menjadi korban KDRT. 

Bedanya saya tidak memiliki keberanian untuk melaporkan tindak kekerasan yang saya alami.

hipwee.com
hipwee.com

Mengulik Ragam Tindak KDRT 

Sebelumnya mari kita cari tahu dulu apa yang dimaksud dengan KDRT.

KDRT atau domestic violence merupakan tindak kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal, di mana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan sangat dekat dengan korban.

Tindak kekerasan tersebut merujuk pada kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu, atau majikan terhadap asisten rumah tangga.

Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan yang tergolong KDRT meliputi: tindak kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.

Peran Serta Negara dalam Upaya Penanggulangan KDRT

Sejatinya, tindak KDRT bukanlah kasus baru, bahkan sudah lama menjadi sorotan publik dan menjadi bahan perbincangan serius yang memprihatinkan. Mengingat korban KDRT dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat.

Dari catatan Komnas Perempuan tahun 2020, diketahui bahwa KDRT masih menempati urutan pertama dengan jumlah 75,4% dibandingkan dengan jenis tindak kejahatan lain.

Kekerasan terhadap perempuan nilai tertinggi jatuh pada kekerasan fisik, berjumlah 4.783 kasus. Dari 11.105 kasus yang ada sebanyak 6.555 (59%) adalah tindak kekerasan suami terhadap istri. 

Sebagai wujud keseriusan dalam upaya menangani kasus KDRT, negara telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang; Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Pemberlakuan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk menindak keras pelaku KDRT dan memberi perlindungan terhadap korban KDRT khususnya perempuan.

Lantas apakah UU PKDRT sepenuhnya sudah diterapkan secara maksimal? 

Bisa jadi belum. Mengingat korban KDRT (umumnya perempuan) cenderung enggan melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya. Banyak korban KDRT di luar sana lebih memilih bungkam.

Tentu saja keengganan ini terpaksa dilakukan karena adanya beberapa faktor dan alasan. Faktor paling mendasar sehubungan dengan keenggan korban KDRT melapor ke polisi adalah; menutupi rasa malu.

Malu jika rahasia buruk rumah tangganya terkuak di muka umum.

theclinicondupont.com
theclinicondupont.com

Selain menutupi rasa malu, alasan lain yang bersifat klise adalah demi menjaga martabat keluarga, terutama orang tua. Juga demi menjaga perasaan anak-anak (jika sudah memiliki anak). 

Keengganan melaporkan tindak KDRT ini pernah terjadi pula pada diri saya.

Cerita selengkapnya begini.

Beberapa tahun silam, ketika itu anak-anak masih kecil, saya sering mengalami tindak KDRT. Nyaris setiap hari pukulan, tamparan, tendangan, cekikan, mampir di tubuh saya.

Suatu saat terlintas dalam pikiran untuk melaporkan keadaan yang saya alami kepada polisi. Tapi kemudian pikiran itu mandeg, tertimbun oleh beragam pertimbangan. Utamanya rasa malu. 

Malu jika rumah tangga yang kelihatan harmonis dan baik-baik saja ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. 

Atau jangan-jangan kala itu saya terlalu mencintai pasangan (bucin)?

Bisa jadi.

Lantas dengan menjaga malu dan terus menerus berpura-pura harmonis apakah bisa menyelesaikan masalah? 

Nyatanya tidak. Malu bertanya sesat di jalan. Malu melaporkan KDRT, hasilnya bonyok-bonyok di seluruh badan. 

Itulah sebab saya salut kepada Mbak artis yang berani melaporkan tindak KDRT yang dialaminya kepada pihak polisi. Sekalipun pada akhirnya si Mbak artis mencabut laporannya itu. 

Itu hak dia. Tapi paling tidak si Mbaknya sudah memberi efek jera kepada suaminya. Semoga si suami bisa berubah sesuai dengan janji yang diucapkannya di depan publik. Amiin.

Saya akui, saya tidak seberani si Mbak artis dalam hal lapor melapor. Saat menghadapi tindak KDRT saya memilih diam, bertahan, menyimpan rasa sakit sendirian. Namun, ketika rasa sakit itu sampai pada titik paling nadir, pertahanan saya jebol juga. Saya memutuskan mengakhiri semuanya. Divorce!

Stop KDRT!

Sudah sepantasnya setiap pelaku tindak KDRT mendapat sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Jangan dikasih kendor. Cos tindak KDRT selain memberi luka fisik juga berdampak pada kondisi psikologis. Asal tahu saja, trauma yang dialami korban KDRT bisa mengendap seumur hidup!

Bucin Boleh, Tapi ...

Setiap orang memiliki hak untuk dicintai dan mencintai. Dan, berhak pula menentukan jalan hidup yang akan dilaluinya. 

Beberapa perempuan memilih mengakhiri rumah tangga usai mengalami tindak KDRT. 

Itu hak mereka.

Beberapa lagi tetap bertahan (karena bucin?), dan melanjutkan rumah tangga dengan harap semua akan kembali baik meski pasangannya jelas-jelas telah menjadikan dia sebagai objek kekerasan. 

Itu juga hak mereka.

Namun tidak ada salahnya sesekali merenung, berbicara dengan diri sendiri; 

Hidup ini hanya sekali. Sudahkah kita mencintai diri sendiri dengan memberinya rasa nyaman, aman, tidak tertekan, dan bahagia menjalani hari-hari?

stock.adobe.com
stock.adobe.com

Intinya nganu; bucin boleh, tapi mengorbankan diri sendiri untuk sesuatu yang sia-sia, jangan!

Salam sehat lahir batin.

***

Malang, 17 Oktober 2022

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun