Bagaimana bisa hujan yang jatuh tadi malam kehilangan daya pikat? Bantal guling tetiba beralih rupa menjadi pagar betis dan penyekat.Â
Kita tidur saling singkur. Aku pura-pura sibuk menghitung kenong kasur. Sementara kamu memilih memainkan orkestra bernada dasar dengkur.
Hujan pagi tadi pun takmampu menyejukkan dua hati. Secangkir kopi tersaji hanya sebagai hiasan pengusir sepi.Â
Kamu pergi tanpa mendaratkan satu kecupan. Dan aku, menatap punggungmu yang menghilang dari balik pintu secara diam-diam.
Barangkali kita takbutuh lagi musim bernama hujan. Barangkali semasing hati sudah terlalu keruh diricuhi rasa bosan. Hingga cepat berburuk sangka. Mendakwa hujan sedemikian rupa; mengumbar parade kesedihan, menggelar kenangan berbalut melodrama.
Tapi tunggu dulu! Mengapa hujan sore ini terasa begitu istimewa? Ada yang luruh, berjatuhan, menyentuh pori-pori hingga rongga dada.Â
Kamu pulang dengan senyum paling menawan. Kamu bilang, "Bisakah membantuku melepaskan baju dan celana yang kebasahan?"
Hujan sore ini. Seketika mengembalikan rasa kita yang nyaris hilang.
***
Malang, 27 September 2022
Lilik Fatimah Azzahra