Mataku beralih pada amplop yang masih tergenggam erat di tangan. Dan, karena tidak ingin tenggelam terlalu lama dalam pusaran tanda tanya, kusobek ujung amplop itu lalu mulai membaca isinya.
Dear Anita ...
Masih ingat, kan? Suatu senja yang dijatuhi gerimis aku pernah bertanya kepadamu, "Jika aku sudah tidak bersama kalian lagi, dan anak kita tiba-tiba merindukanku, kira-kira apa yang akan kamu lakukan?"
"Mengajarinya menulis surat!"Jawabmu spontan. "Dan, aku yakin kau pasti akan membalasnya."
Nit. Hari ini dadaku membuncah saat melihatmu mendatangi kantor pos itu untuk mengantar surat yang dititpkan anak kita. Tentu, usai membaca suratnya aku merasa haru dan bahagia. Meski ia hanya menulis tiga kata;Â Ayah aku rindu...
Nit, surat itu sudah aku balas. Semoga ia senang menerimanya.
Jaga baik-baik dia, ya, Nit. Aku menyayangi kalian berdua.
Dari AldyÂ
(Penghuni tempat tenang yang tak terjangkau)
Aku menarik napas dalam-dalam. Isi surat yang kubaca sontak menghanguskan tuduhan terhadap lelaki berseragam coklat itu.Â
Tidak mungkin ia yang melakukannya --- membalas dan menulis surat sedemikian rinci. Sebab selain kami tidak saling kenal, orang itu pasti tidak tahu apa-apa tentang kehidupan yang kujalani bersama Aldy.
Lantas siapa? Masa arwah Aldy? Mustahil! Sampai kapan pun orang mati tidak akan bisa menulis apalagi membalas surat.Â
Meski tak kupungkiri, aku pernah mengingkari kemustahilan itu. Dengan mengatakan Aldy pasti akan membalas surat yang dikirim untuknya, meski ia sudah tidak bersama kami lagi.
"Ma, aku mau menulis surat lagi untuk Ayah. Sekaligus membuat balasannya! Dua. Satu untuk aku sendiri dan satu lagi untuk Mama."
Huft. Suara riang itu, cukup sudah menjelaskan semuanya.Â
Di alam sana Aldy pasti sedang terbahak. Menertawakan kekacauan otakku hari ini.
***
Malang, 13 November 2021
Lilik Fatimah Azzahra