Suatu hari, kita pernah berdebat hebat. Tentang seorang anak yang belum sempat terlahir dari rahim suciku.
Anak itu, katamu, tubuhnya bening seperti hujan. Matanya hangat seperti cahaya bulan. Dan, pipinya merona seperti langit senja yang tertangkap basah saat mengintip kita sedang memadu cinta.
Anak itu, masih katamu, ia tumbuh bersama bunga-bunga. Kita biarkan ia menari bersama kumbang dan kupu-kupu. Kita izinkan ia tidur siang di atas hampar rerumputan. Sampai ia terbangun (lagi) dan meminta kita untuk menjala matahari.
Suatu hari, kita pernah saling tuduh dan menyalahkan. Tentang pola asuh yang keliru terhadap anak yang belum sempat terbaring lelap di ranjang rahimku. Anak kecil yang menatap kita dengan bola mata jalang. Yang menorehkan luka dengan kata-kata tajam bak ujung sebilah pedang.
Dan, suatu hari kita pernah saling bersitatap dalam kebisuan. Menyesali keputusan yang kita ambil tanpa pemikiran. Mengapa kita tidak mencoba menjadi orangtua yang baik dan bijaksana? Bagi seorang anak yang memilih tidak terlahir dari rahim ibu yang menua dirampas oleh waktu.
***
Malang, 29 Juni 2021
Lilik Fatimah Azzahra