Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cermin [#4] | Fatimah, Menjemput Takdir

14 Agustus 2019   06:32 Diperbarui: 14 Agustus 2019   06:37 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: 5pillarsuk.com

Kisah sebelumnya 1, 2, 3

Bag.4

Menunggu keputusan final dari Pengadilan Agama sungguh amat melelahkan sekaligus menghabiskan energinya. Fatimah harus wira-wiri, bolak-balik dengan berkas yang mulai lusuh di pelukannya.

Seperti pagi ini, ia sudah terbangun sejak dua jam yang lalu. Ia harus mempersiapkan semuanya sebelum pergi meninggalkan rumah.

"Hari sudah pagi, sayang. Waktunya bersiap-siap ke sekolah," perlahan Fatimah menyentuh pipi Nayla, putri sulungnya. Gadis cilik itu menggeliat sebentar lalu bergumam, "Ini kan hari Minggu, Ma.."

Astagfirullahaladzim, Fatimah menghela napas panjang. Sedemikian linglungnya aku, hingga lupa menghitung hari. Ia membatin malu.

"Mama tidak apa-apa?" Nayla membuka matanya yang masih mengantuk. Bocah perempuan itu tampak khawatir saat melihat wajah pucat ibunya.

Fatimah mengulurkan tangan, merapikan letak selimut dan mengelus punggung Nayla sembari berbisik, "Tidak apa-apa, sayang. Mama baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja..."

Sebuah kalimat penghiburan yang menenangkan, yang sesungguhnya--ia tujukan untuk dirinya sendiri.

***

Mobil menggerung sejenak. Lalu berhenti tidak jauh dari pintu pagar. Abi turun dengan langkah tergesa, menyeruak masuk ke dalam rumah menemui Fatimah yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Fatimah, tarik kembali gugatanmu!" laki-laki itu berseru lantang. Membuat dua bocah yang masih meringkuk di atas pembaringan terjaga.

"Tidak akan kulakukan," Fatimah menyahut tanpa memandang wajah suaminya.

"Kau menentangku, Fatimah? Baiklah. Itu berarti, kau harus bersiap-siap tidak akan mendapatkan apapun dariku," suara Abi terdengar geram.

"Apakah ini semacam ancaman?" Fatimah menyipitkan kedua matanya.

"Dengar, Fatimah! Kau akan menyesal."

Di luar hujan mendadak tumpah. Membasahi rerumputan dan pepohonan yang meranggas.

Andai hujan bisa menyembuhkan luka hati. Atau paling tidak menghapus jejak kenangan yang terlanjur menoreh, ah, Fatimah memejamkan mata. Menggigit bibirnya sendiri hingga berdarah.

Sementara Abi, merasa kata-katanya tidak ditanggapi dengan baik oleh Fatimah, ia bergegas memutar tubuh. Lalu membanting pintu dengan kasar.

Di antara reruntuhan hujan kakinya yang limbung melangkah menuju mobil. Sejenak lamanya ia membiarkan hujan berebut mengaburkan kaca jendela. Juga pikirannya.

***

Sesungguhnya Abi tengah dilanda kebingungan. Kebingungan yang amat sangat. Desakkan keluarga istri mudanya untuk segera menikah secara resmi--bukan sekadar menikah  sirri, membuatnya pusing tujuh keliling. Ditambah lagi sikap keras kepala Fatimah yang enggan menarik gugatannya.

Kebingungan yang lain, yang tidak kalah memberatkan isi kepalanya adalah masalah keuangan. Akhir-akhir ini ia terlalu banyak menghambur-hamburkan uang demi menyenangkan hati istri mudanya. Bahkan ia mulai bertindak ceroboh dengan berani memakai dana kantor yang selama ini dipercayakan kepadanya.

Ketika pihak kantor meminta pertanggungjawaban, hanya satu yang terlintas di dalam pikiran Abi. Ia akan segera menjual harta paling berharga yang dimilikinya.

Harta berharga?

Otak laki-laki itu berpikir keras. Harta apa yang paling berharga yang saat ini dimilikinya? Mobil? Tidak. Tentu saja ia tidak akan melepaskan kendaraan satu-satunya itu. Ia masih sangat membutuhkannya.

Bagaimana dengan rumah?  Ya, seperti hanya rumah yang bisa menolongnya saat ini dari keterpurukan.

Awan kumulonimbus berhenti berarak. Seolah mencibir. Sedemikian sempit pemikiran laki-laki itu. Ia melupakan bahwa rumah yang sedang bermain-main di pelupuk matanya adalah satu-satunya tempat bernaung Fatimah bersama anak-anak. Lalu hendak kemana kelak Fatimah harus pergi membawa serta buah hati jika rumah itu benar-benar laku terjual?

Ah, masa bodoh! Abi tidak berpikir sejauh itu. Dalam benaknya yang keruh hanya terbersit satu keinginan. Dalam waktu dekat ia harus segera mendapatkan uang dalam jumlah yang fantastis.

Itu saja.

Bersambung...

***

Malang, 14 Agustus 2019

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun