Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan yang Bicara pada Pohon Ara

22 November 2018   06:20 Diperbarui: 22 November 2018   07:13 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:bradkunkle.com

"Hallo... Ini siapa? Seorang kekasih ataukah pecundang? Kalau kekasih aku ingin memberikan seluruh hati. Kalau pecundang akan kutendang sampai ia jatuh terjengkang!" aku membuka percakapan pagi itu, Ara. Pagi yang tiba-tiba terasa begitu indah.

Terdengar sahutan dari seberang. Suara khas yang renyah. Diiringi gelak tawa.

Begitulah. 

Kami mengawali hari dengan hal-hal yang tidak biasa.

------

Semalam gerimis tidak saja membasahi pipi. Tapi juga hati. Dan aku seperti biasa terpekur di dalam kamar memeluk sunyi. 

"Jangan meratap!" Itu suara dia. Suara laki-laki yang belakangan mengusik hari-hariku.

Kau benar sekali, Ara. Aku sepertinya sedang jatuh cinta.

Pohon Ara yang tumbuh di belakang rumah, yang kuajak bicara rantingnya bergoyang sedikit. Menggugurkan satu helai daunnya tepat di atas kepalaku. Seolah ingin menegaskan sendiri apa yang sedang berkecamuk di dalam benakku.

***

Ara, bolehkan aku melanjutkan cerita?

--------------

Aku menyebutnya lelaki yang 'terlambat datang'. Lelaki yang terselip di antara beribu--bahkan mungkin berjuta bintang yang berlalu lalang di langit malam. Dan aku terkejut, karena tanpa sengaja aku menemukannya.

Ia sangat berbeda, Ara. Ia berkelip dengan sinar berwarna-warni yang tak ada di dalam spektrum. Warna yang tidak bisa kujabarkan di sini. Dan aku sungguh sangat terkesima. 

Perasaan itu, Ara, terkesima atau apapun namanya, mampu membuat gerimis kecil di mataku tetiba ingin menitik membasahi pipi.

Kau tahu, aku memang selalu begitu. Dalam keadaan apapun, sedih atau bahagia, aku tak bisa menjauhkannya dari airmata.

Aku sudah lelah menghitung, Ara. Berapa banyak tamu yang datang bertandang, sekadar ingin tahu apa yang sedang kulakukan di balik pintu usang itu. Pintu yang bertahun kukunci dan kupalang dengan kutukan serupa ikrar janji. 

Janji; bahwa aku tidak akan pernah membuka pintu usang itu untuk siapa pun dan sampai kapan pun.

Ah, Ara.

Sejauh ini aku bergeming. Kuabaikan segala hiruk pikuk di luar sana. Aku lebih suka sendiri, duduk terpekur di sudut kamar mengakrabi sunyi.

Sampai kemudian kutemukan laki-laki yang 'terlambat datang' itu. Ia tak ubahnya pengamen jalanan. Ya, pengamen jalanan. Yang tak peduli pada sekeliling, apakah orang-orang mau mendengarkan suaranya atau tidak. Ia tetap melantunkan tembang dengan cara yang dimaui dan dikehendakinya sendiri. 

Dan suatu pagi, di musim yang tak tercatat dalam almanak hari. Aku kehilangan kuasa atas janji-janji yang pernah kulontarkan. Aku telah menyalahi dan melanggar kutukanku sendiri.

Kubuka pintu usang berpalang itu, Ara. Aku membiarkan mataku kembali nanar menatap dunia luar. Dan aku melihatnya.

Sekali lagi kau benar, Ara. Aku memang telah jatuh cinta.

Cinta ternyata tidak bisa mati. Meski terbunuh atau sengaja dibunuh. Ia akan tetap hidup, bangkit dan bangkit lagi. Seperti sekawanan zombie.

Dan selayak dongeng Putri Tidur yang dikutuk sementara oleh nenek sihir, aku terjaga. Aku melihat kilatan cahaya itu di matanya. Mata seorang lelaki yang 'terlambat datang'. Lelaki yang selama ini disembunyikan bintang-bintang. 

Di hadapanmu, Ara. Aku tak berani menunjukkan gerimis yang datang menari-nari. Aku khawatir kau akan memberi tahu pada lelaki itu. Dan lelaki itu lantas akan menegurku,"Jangan meratap!"

Aku tersipu. Menyudahi ceritaku. Memeluk bahagia.

Dan pohon Ara kembali menggoyangkan rerantingnya. Kali ini tidak hanya menggugurkan sehelai, tapi seluruh daun-daun. Hingga sekujur tubuhku tertimbun.

Sepertinya, pohon Ara cemburu pada lelaki yang 'terlambat datang' itu.

***

Malang, 22 November 2018

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun