Mendadak aku melihat bayangan masa kecilku. Aku juga melihat almarhum Ayah mengarahkan kamera jadulnya tepat ke arah wajah dan pinggangku.
"Mas Adam! Dari tadi melamun saja. Kangen keluarga, ya?" salah seorang anak buahku membuyarkan lamunanku. Aku tidak menyahut. Hanya mengangguk sedikit seraya menyandarkan punggung pada dinding papan yang mulai mengelupas di sana sini.
"Pulang dulu. Mas. Tidak apa-apa. Biar kami lanjutkan pekerjaan ini," anak buahku itu berkata lagi.
Aku masih tidak menyahut. Hanya jemariku segera meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja.Â
Di tengah perjalanan pulang sembari menyetir aku menelpon Lastri.
"Tri, mana Damian? Bilang padanya, aku pulang! Ayah pulang! Ayah akan mengantarnya pergi ke dokter untuk dikhitan," suaraku menggebu dan memburu.
Tak ada sahutan.
Aku menambah lagi kecepatan mobilku.
Di tikungan jalan saat hendak berbelok, bumper mobil bagian depan menyerempet beton pembatas jalan. Tak pelak lagi mobil yang kukendarai kehilangan keseimbangan. Rodanya meliuk meluncur zig-zag lalu tersungkur menabrak sebatang pohon.
Antara sadar dan tidak aku melihat Damian meringis. Menahan tangis seraya menunjukkan burung mungilnya yang sudah terbalut perban--seperti mumi.
***
Malang, 12 Juli 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Â