Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Diary Seorang Ayah

12 Juli 2018   18:24 Diperbarui: 15 Juli 2018   01:10 3232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : www.pixabay.com

Tahun 1990

Mungkin karena kami sama-sama lelaki, jadi aku lebih dekat dengan Ayah ketimbang kepada Ibu. Kedekatan kami terjalin sejak usiaku masih Balita.

Masih bisa kuingat bagaimana Ayah dengan sabar dan telaten mengajariku cara pipis yang baik. Juga saat tiba masa aku harus dikhitan, Ayah paling setia menungguiku.

"Tidak sakit kok, Dam. Disunat itu rasanya seperti digigit semut," Ayah mengelus kepalaku sembari mengajakku bercanda, menceritakan hal-hal lucu agar aku terslimur dari rasa takut menghadapi prosesi eksekusi khitan.

"Untuk kenang-kenangan, Ayah akan mengambil gambarmu," Ayah tertawa seraya membidikkan kamera pocket-nya ke arah wajahku yang meringis menahan tangis. Lalu sorot kamera berpindah ke arah pinggang bawahku yang sudah tidak memakai penutup apa-apa.

Hingga bertahun kemudian Ayah masih menyimpan foto-foto hasil bidikannya itu. Dan kadang sesekali suka menunjukkannya kepadaku. Kalau sudah begitu kami akan tertawa bersama. Menertawakan foto lucu, seekor burung mungil yang diperban mirip mumi.

Kenangan bersama Ayah memang selalu terajut dengan manis. Apalagi Ayahku adalah seorang lelaki yang humoris. Baginya tak ada hari tanpa tertawa. 

Aku masih belum lupa ketika pertama kali mengobrol tentang ketertarikanku kepada seorang gadis--teman satu kelas di bangku SMP.

"Dia cantik sekali, Ayah. Ada tahi lalat di bawah bibirnya," tuturku. Wajah Ayah yang kecoklatan tampak sumringah.

"Itu tandanya hormonmu mulai bekerja, Dam. Dan lain waktu kamu harus memperkenalkan gadis yang kamu taksir itu kepada Ayah. Ayah ingin melihat apakah seleramu sama seperti selera Ayah ketika seusia dirimu," sahut Ayah dengan suara sengaja dipelankan agar tidak terdengar oleh Ibu yang kebetulan berdiri tidak jauh dari kami.

Banyak momen-momen kecil yang kulalui bersama Ayah yang jika diingat terasa begitu indah.

Itulah sebab ketika Ayah berpulang menghadapNya--di usianya menjelang uzur, orang yang paling merasa kehilangan itu adalah aku.

***

Tahun 2018

Kini usiaku menginjak tiga puluh lima tahun. Usia dewasa. Dan aku sudah pula menjadi seorang ayah. 

Damian anakku sudah duduk di bangku SD kelas satu.

Tapi aku tidak seperti almarhum Ayah yang sangat dekat dengan anaknya. Aku pria masa kini yang super sibuk. Yang bahkan tidak memiliki waktu barang sedetikpun untuk bersantai bersama keluarga. Aku nyaris kehilangan momen indah bersama si kecilku Damian.

Untunglah aku menikahi seorang perempuan yang sangat memaklumi dan memahami keadaanku.

Lastri, ia tidak saja berparas cantik, tapi juga sangat baik. Ia nyaris tidak pernah mengeluh memiliki suami workaholic sepertiku. Suami yang sehari-hari hanya memikirkan kerja dan kerja melebihi segalanya.

Sebagai penanggung jawab sebuah proyek pembangunan jalan bebas hambatan, aku dituntut untuk bekerja keras dan berpindah-pindah tempat. Aku harus rela lembur siang dan malam. Deadline waktu yang dibebankan kepada tim-ku mau tidak mau menguras tidak saja tenaga tapi juga pikiranku. 

Tuntutan kerja yang sedemikian rupa membuat aku benar-benar semakin jauh dari keluarga kecilku. Waktuku lebih banyak berada di sekitar proyek. Menempati rumah papan yang sengaja dibangun untuk rehat para tukang dan kuli. 

Durasi kerja yang tidak mengenal waktu praktis membuatku jarang pulang ke rumah. Waktu untuk menjenguk Lastri dan Damian hanya sebulan satu kali. Itu pun tidak bisa berlama-lama. Hanya beberapa jam. Pagi pulang, sore harus bergegas kembali lagi ke lokasi. Aku bahkan tidak sempat bertemu jagoan kecilku, Damian. 

Bagaimana bisa bertemu Damian? Saat aku masuk rumah ia sudah berangkat ke sekolah. Dan kerika aku harus kembali ke tempat kerja, ia belum pulang dari sekolah.

"Mas, kapan hari Damian menyampaikan keinginannya padaku. Ia minta disunat," bisik Lastri ketika mengantarku menuju mobil yang terparkir di halaman. Mendengar ucapan istriku sontak aku menghentikan langkah. 

"Berapa umur Damian sekarang, Tri?" aku menelengkan kepala sedikit.

"Tujuh tahun lebih..." Lastri menyahut pelan. 

Aku tergugu. Usia yang sama ketika dulu aku minta kepada almarhum Ayah untuk diantar ke rumah mantri sunat terdekat.

"Nanti akan kita bicarakan lagi, Tri. Akan kucari waktu luang agar bisa mengantar Damian ke dokter khitan," janjiku.

Tapi sungguh, aku merasa sangat berdosa. Karena hingga berbulan ke depan waktuku tak kunjung luang. Aku masih juga berkutat dengan pekerjaanku. Masih sibuk mengawasi para tukang dan kuli.

Sampai di suatu siang, aku seolah melihat Lastri duduk menunggui Damian di tepi ranjang. Dan perjaka kecilku itu tidur terlentang, berbalut kain sarung yang tampak menggelembung. Seperti ada sesuatu yang mengganjalnya.

Seketika dadaku terguncang.

"Bagaimana rasanya, Mian, sakitkah?" suara Lastri terdengar lembut. Sayup=sayup tertiup angin. 

"Nggak, kok Ma. Hanya seperti digigit semut," Damian menjawab ringan.

Mendadak aku melihat bayangan masa kecilku. Aku juga melihat almarhum Ayah mengarahkan kamera jadulnya tepat ke arah wajah dan pinggangku.

"Mas Adam! Dari tadi melamun saja. Kangen keluarga, ya?" salah seorang anak buahku membuyarkan lamunanku. Aku tidak menyahut. Hanya mengangguk sedikit seraya menyandarkan punggung pada dinding papan yang mulai mengelupas di sana sini.

"Pulang dulu. Mas. Tidak apa-apa. Biar kami lanjutkan pekerjaan ini," anak buahku itu berkata lagi.

Aku masih tidak menyahut. Hanya jemariku segera meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja. 

Di tengah perjalanan pulang sembari menyetir aku menelpon Lastri.

"Tri, mana Damian? Bilang padanya, aku pulang! Ayah pulang! Ayah akan mengantarnya pergi ke dokter untuk dikhitan," suaraku menggebu dan memburu.

Tak ada sahutan.

Aku menambah lagi kecepatan mobilku.

Di tikungan jalan saat hendak berbelok, bumper mobil bagian depan menyerempet beton pembatas jalan. Tak pelak lagi mobil yang kukendarai kehilangan keseimbangan. Rodanya meliuk meluncur zig-zag lalu tersungkur menabrak sebatang pohon.

Antara sadar dan tidak aku melihat Damian meringis. Menahan tangis seraya menunjukkan burung mungilnya yang sudah terbalut perban--seperti mumi.

***

Malang, 12 Juli 2018

Lilik Fatimah Azzahra

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun