Bagaimana bisa bertemu Damian? Saat aku masuk rumah ia sudah berangkat ke sekolah. Dan kerika aku harus kembali ke tempat kerja, ia belum pulang dari sekolah.
"Mas, kapan hari Damian menyampaikan keinginannya padaku. Ia minta disunat," bisik Lastri ketika mengantarku menuju mobil yang terparkir di halaman. Mendengar ucapan istriku sontak aku menghentikan langkah.Â
"Berapa umur Damian sekarang, Tri?" aku menelengkan kepala sedikit.
"Tujuh tahun lebih..." Lastri menyahut pelan.Â
Aku tergugu. Usia yang sama ketika dulu aku minta kepada almarhum Ayah untuk diantar ke rumah mantri sunat terdekat.
"Nanti akan kita bicarakan lagi, Tri. Akan kucari waktu luang agar bisa mengantar Damian ke dokter khitan," janjiku.
Tapi sungguh, aku merasa sangat berdosa. Karena hingga berbulan ke depan waktuku tak kunjung luang. Aku masih juga berkutat dengan pekerjaanku. Masih sibuk mengawasi para tukang dan kuli.
Sampai di suatu siang, aku seolah melihat Lastri duduk menunggui Damian di tepi ranjang. Dan perjaka kecilku itu tidur terlentang, berbalut kain sarung yang tampak menggelembung. Seperti ada sesuatu yang mengganjalnya.
Seketika dadaku terguncang.
"Bagaimana rasanya, Mian, sakitkah?" suara Lastri terdengar lembut. Sayup=sayup tertiup angin.Â
"Nggak, kok Ma. Hanya seperti digigit semut," Damian menjawab ringan.