Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kekasihku Masih di Langit

19 Agustus 2016   17:52 Diperbarui: 19 Agustus 2016   18:03 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan mengetuk-ngetuk atap kamarku. Menyisakan bias embun pada bening kaca jendela.

"Kekasihmu masih di langit!" serunya sembari menari. Aku menyibakkan selimut.

"Kapan ia akan turun?" tanyaku gembira. Hujan menghentikan tariannya.

"Oh, maaf aku lupa tidak bertanya padanya," hujan menatapku dengan pandang mata bersalah.

"Tak apa. Kau bisa bertanya di kesempatan lain," aku menimpali. Kulihat hujan mengangguk lalu perlahan beranjak pergi.

Pelangi datang menggantikan hujan. Selendangnya yang berjuntai menyentuh pundakku.


"Kekasihmu masih di langit!" ia berseru memberitahu. 

"Kapan ia akan menemuiku?" tanyaku riang.

"Oh, maafkan, aku lupa bertanya," pelangi tersipu.

"Tak apa. Kau bisa bertanya di lain waktu," ujarku. Pelangi menatapku. Sejenak kemudian ia pun menghilang. Bersembunyi di kaki langit.

***

Ini sudah bulan kesekian. Mengapa kekasihku masih berada di langit? Kapan ia akan turun menemuiku? Aku sangat merindukannya. 

Aku belum beranjak dari tempatku. Masih berdiri mematung di luar rumah. Menunggu hujan. Tapi seharian ini hujan tak menampakkan batang hidungnya. 

Aku juga sedang menanti pelangi. Barangkali ia sudah berbincang-bincang dengan kekasihku. Aku berharap ia sudi mengabariku tentang keadaannya. Tapi, oh, aku lupa. Tentu saja pelangi tak akan muncul jika hujan tak berkenan datang. 

Kulihat langit masih cerah.

"Apakah kau melihat kekasihku?" tanyaku pada matahari. 

"Iya, aku melihatnya. Ia tengah duduk melamun di atas awan," matahari menyahut sembari perlahan menggeser posisinya.

"Apakah ia baik-baik saja?" tanyaku lagi.

"Siapa?" matahari mengerjapkan matanya.

"Kekasihku itu."

Matahari terdiam.

"Jawablah! Apakah ia baik-baik saja?" aku mengulang pertanyaan. Matahari mengacuhkanku. 

"Ya, sudahlah jika kau tak mau menjawab pertanyaanku. Aku akan menunggu hujan. Hanya dia satu-satunya harapanku." Aku menarik napas panjang.

"Hujan tak akan datang. Musim telah berganti kemarau," ejek matahari.

"Oh, ya? Aku akan memanggilnya," sahutku tenang.

"Memanggil hujan? Bagaimana caranya?" matahari menyipitkan mata. Kali ini aku menjawab dengan senyuman.

***

Kakiku melangkah ringan menuju perkebunan. Matahari diam-diam menguntitku.

"Apakah kalian di situ?" seruku seraya menguak semak belukar. 

"Yup! Kami di sini!" terdengar suara serak bersahutan. Sosok-sosok mungil berlompatan. Aku menarik napas lega.

"Tolong aku, panggilkan hujan," pintaku tanpa basa-basi.

Sosok-sosok mungil bermata lebar itu mengangguk berbarengan. Lalu berbaris rapi di hadapanku. 

Kung-kong, kung-kong. Mereka mulai bernyanyi. Memanggil hujan.

***

Hujan terbangun dari tidur lelapnya. Suara serak nan bising membuat telinganya sakit. Hujanpun mulai menangis. Ia turun ke bumi dengan air mata berderai. 

Aku menyambutnya di dekat jendela.

"Apakah kau melihat kekasihku? Apakah kekasihku baik-baik saja?" aku mencecar hujan dengan pertanyaan. Hujan tak menggubrisku. Tangisnya kian menjadi.

"Oh, maafkan aku. Jika nyanyian sumbang mereka telah membuatmu sesedih ini," aku menatap hujan dengan perasaan iba.

"Ya, aku menangis karena kodok-kodok sialan itu telah mengacaukan pergantian musim!" hujan membentakku sembari sesenggukan.

"Apa maksudmu?" tanyaku pelan.

"Kau tahu? Kekasihmu yang di langit baru saja mati. Kedinginan. Padahal ia sedang menunggu musim kemarau untuk menjahit kedua sayapnya yang patah. Ia bilang padaku, ingin segera menemuimu. "

Sekarang, aku memutuskan ikut menangis bersama hujan.

***

Malang, 19 Agustus 2016

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun