Langkah sapu lidi berhenti pada bibir sumur di samping rumah. Mata rabunnya melongok sebentar ke dalam sumur itu. Ia masih bisa melihat kilau air yang bening.
"Kapan terakhir kali aku memandikan kalian menggunakan air sumur ini?" ia merintih. Tangan keriputnya menarik tali timba dan menggerak-gerakkannya perlahan. Tetiba perutnya berbunyi. Waktunya menjerang air dan membuat secangkir kopi panas. Untuk dirinya sendiri.
Ia masuk ke dapur. Dihidupkannya tungku yang terbuat dari tanah liat. Tungku itu peninggalan almarhum suaminya. Ia menunggu beberapa menit hingga air di atas tungku mendidih. Lalu dituangkannya air panas itu perlahan ke dalam cangkir tua berisi serbuk kopi dan gula sisa kemarin. Tangannya mengaduk dengan gemetar.
Sembari menyeruput kopi, perempuan itu menatap kalender yang terpampang pada dinding kusam ruang tamu.
"Si Arif, kini sudah menjadi dokter. Pasti ia sibuk melayani pasien-pasiennya. Si Juki, sudah menjadi seorang pejabat, tentu ia sibuk memikirkan kemajuan partainya. Si Ayu, telah diperistri seorang konglomerat. Barangkali ia sibuk menemani suaminya berkeliling-keliling dunia...."
Perempuan itu bicara sendiri.Â
Lalu ia meletakkan cangkir kopinya di atas meja. Direbahkannya tubuhnya yang renta pada sandaran kursi. Dibiarkan ayam-ayam berkeliaran masuk ke dalam rumah. Ditumpahkannya sepiring nasi kering tepat di ujung kakinya. Ayam-ayam itu pun berebut menghampiri dan lahap mematuki butiran nasi. Perempuan itu tersenyum.Â
"Makanlah yang kenyang. Setelah itu jangan pergi. Temani aku di sini...."Â
Perempuan itu memejamkan matanya. Dan sejak itu, ia tak pernah terbangun lagi.
***
Malang, 31 Maret 2016
Lilik Fatimah Azzahra